Yasa berjanji pada Saphira, ia akan mencari pekerjaan dan berhenti menulis skripsi selama enam bulan. Yasa bertekad akan memantaskan diri untuk menjadi calon suami yang bisa dibanggakan Saphira.
“Beneran? Kata orang tua kamu gimana?” Saphira khawatir dengan keputusan yang Yasa buat.
“Insya Allah, nanti aku akan meyakinkan keluargaku mengenai rencana pernikahan kita, setelah aku mendapatkan pekerjaan.”
“Kamu kan belum punya ijazah, Memangnya mau kerja di mana?”
“Aku akan meminta bantuan senior. Aku dengar mahasiswa tingkat akhir bisa bekerja sebagai guru pengganti di sekolah, selain itu bisa juga bekerja di tempat bimbingan belajar. Aku akan bekerja keras untuk pernikahan kita.”
“Semangat Yasa.” Saphira tersenyum senang.
Minggu itu Yasa berkunjung ke tempat yang dulu ditakuti olehnya, yaitu rumah Saphira. Di rumah Saphira, dengan penuh keyakinan Yasa berjanji dihadapan kedua orang tua Saphira, ia akan menikahi puteri bungsu mereka setelah Saphira menjadi sarjana. Orang tua Saphira terlihat bahagia sekali, sedangkan kakak perempuan Saphira sama sekali tidak berbicara dan tidak menatap wajah Yasa.
Setelah pulang dari rumah Saphira, Yasa datang ke Kafe Cadas untuk menghadiri pertemuan Harimau – Harimau Kebun Teh. Sebelumnya Yasa tidak pernah mau datang ke pertemuan – pertemuan itu, ia selalu menolak saat diajak oleh Pak Vito. Namun Minggu itu Yasa bertekad akan meminta bantuan kepada para senior untuk mendapatkan pekerjaan.
Kafe Cadas berada di dekat kebun teh, tempat itu terkenal karena roti daging dan kopinya. Saat Yasa datang, ternyata para anggota Harimau – Harimau Kebun Teh sedang membicarakan proyek pembebasan lahan. Yasa dan sebagian besar anggota yang lain hanya diam dan mendengarkan Pak Vito, beberapa orang meminta waktu mengobrol dengan Pak Vito setelah ia selesai berbicara panjang lebar. Sepertinya orang – orang itu tertarik untuk mengambil bagian di dalam proyek.
“Akhirnya datang juga Yasa!” Kata Pak Vito, sambil tersenyum senang.
“Alhamdulillah Pak, akhirnya saya berani datang ke sini.”
“Naha kudu sieun (kenapa harus takut)?”
“Takut Pak, di sini senior semua.”
“Jangan takut! Sekarang kamu anggota, walaupun banyak yang lebih tua dari kamu, di sini kita semua sederajat.”
“Baik Pak.”
“Eta Keukeuh (bersikeras) maneh, manggil Bapak, panggil saya Kang saja!”
“Tidak mau Pak. Mau manggil Bapak saja.”
“Terserah maneh lah.” Pak Vito tertawa.
“Pak, saya mau minta bantuan.”
“Bantuan apa? Aya masalah deui jeung (ada masalah lagi dengan) Suwarnabhumi?”
“Tidak Pak. Saya sedang mencari pekerjaan Pak…”
“Hayu atuh ngilu proyek sayah (ayo ikut proyek saya)!” Pak Vito memotong.
“Saya mau jadi guru saja Pak, atau pengajar di bimbingan belajar.”
Pak Vito segera mempertemukan Yasa dengan Kang Topani dan Kang Andryana. Mereka berdua adalah anggota Harimau – Harimau Kebun Teh yang sangat tahu mengenai lowongan pekerjaan sebagai guru di Jawa Barat.
“Maneh dek gawe (kamu mau bekerja) di sekolah Islam, sekolah Kristen atawa tempat les (bimbingan belajar)?” Tanya Kang Andryana.
“Saya ingin bekerja di sekolah dan tempat les Kang. Ingin bekerja dari pagi sampai malam.” Jawab Yasa.
“Oke, tapi sakola na di mana? Sekolah Islam atau sekolah Kristen?”
“Di sekolah yang mana saja Kang, asalkan mau menerima saya yang belum punya ijazah ini.”
“Kalau tempat les mah, geus we maneh ngilu (sudah kamu ikut saja) di tempat urang. Gaji hampir UMR, kerja dari pulang sekolah sampai jam sembilan, tapi Sabtu masuk. Kumaha (bagaimana)?” Kang Redi mulai menyalakan rokok. “Mun sakola ma (kalau lowongan di sekolah) ka Si Topan we.”
“Siap Kang! Terimakasih Kang!” Yasa senang.
Kang Topani meminta Yasa untuk menunggu dulu, ia bilang akan menghubungi beberapa teman dekat. Kang Andryana yang berkulit gelap, sedikit pendek dan kurus mulai menertawakan Yasa.
“Sia can lulus (kamu belum lulus), tapi geus semanget kitu neang gawe (tapi sudah semangat begitu mencari pekerjaan)! Dek kawin nya (mau menikah ya)!?”
“Iya kang.”
“Sudah kuduga anjing! Memang keur usum (lagi musim) hijrah jeung nikah muda ayeuna mah.” Ia menghisap rokok, kemudian tertawa lagi, lalu berteriak. “Ieu anggota muda dek nikah euy (ini anggota muda mau menikah)! Era sia anjing Jek (malu kamu Jek)! Ieu nu ngora wae geus dek nikah (ini yang muda saja sudah mau menikah)!” Teriakan itu disambut tawa semua orang di Kafe Cadas, seseorang bernama Jek memberikan jari tengah kepada Kang Andryana.
Kang Topani berhenti memegang gawai, ia menyimpannya di tempat khusus gawai yang berada di antara sabuk kulit hitam yang ia kenakan. Ia meminta Yasa mendengarkan dengan baik apa yang akan ia jelaskan.
“Ada satu sekolah Katolik yang sedang membutuhkan guru pengganti selama beberapa bulan, karena guru sejarah mereka akan cuti hamil. Apakah kamu tertarik? Mereka mau menerima mahasiswa tingkat akhir juga. Oh iya, ini sedikit berat, 38 jam mengajar, apa kamu kuat?”
“Tertarik Kang. Insya Allah kuat, Kang.”
*
Empat puluh hari setelah menghadiri pertemuan Harimau – Harimau Kebun Teh, Yasa akhirnya siap memberi berita mengejutkan itu kepada keluarganya. Yasa dengan tegas mengutarakan keinginannya untuk menikah muda.
“Anjing kamu! Kurang ajar, mau melangkahiku, minta izin dulu dong! Kamu tidak merasa bersalah?” Kata Kakak.
“Kakak pernah bilang kepadaku bahwa aku harus mencintai pacarku dengan caraku sendiri. Ya ini lah caraku!” Jawab Yasa.
Ibu melarang Kakak untuk berbicara lagi. Ibu ingin Yasa menyelesaikan penjelasannya dulu.
“Coba Yasa, terus kamu mau bagaimana? Menikah itu tidak semudah membalikan telapak tangan.” Ibu berbicara sambil menahan emosi, Yasa melihat bibir Ibu bergetar.
“Yasa, lalu skripsi kamu bagaimana?” Tanya Ayah.
“Aku akan libur dulu menulis skripsi selama setengah tahun, Ayah.” Jawab Yasa. “Coba dengarkan dulu, semuanya.” Yasa mengeluarkan amplop coklat dari tasnya. “Ini penghasilanku dalam satu bulan ini. Ada hampir lima juta rupiah. Aku yakin bisa menikah muda. Rencananya Saphira dan aku akan menikah di KUA. Gratis, tanpa biaya, kemudian mengadakan syukuran yang sederhana. Lalu tinggal di koskosan di dekat kampus yang murah harga sewanya.”