Di hari pertama kaderisasi, Zahra dan teman – temannya dikumpulkan di dekat Amphiteater, untuk mendengarkan pidato dari ketua himpunan mahasiswa jurusan pendidikan sejarah yaitu Yasa. Zahra telah melupakan apa yang dikatakan oleh Yasa saat itu, tapi ia tidak pernah lupa, itulah pertama kali cinta datang ke hatinya. Cinta yang menyebabkan Zahra menangis saat ia hampir saja tidak mengikuti acara pengukuhan anggota baru himpunan, ia menangis karena takut membuat Yasa kecewa dengannya.
Yasa seperti magnet bagi Zahra. Ia adalah kutub negatif bagi Zahra yang merahasiakan kutub positif cinta yang ia miliki. Di mana pun Yasa berada, Zahra ingin selalu berada di dekatnya. Saat Yasa sedang mengobrol di depan fakultas dengan kakak tingkat yang lain, Zahra meminta Asri dan Susanti untuk menemaninya nongkrong di depan gerbang fakultas, agar Zahra bisa melihat Yasa dari kejauhan, itu cukup untuk membuatnya senang. Saat Susanti memberitahu Zahra bahwa Yasa kadang terlihat sedang makan di Kedai Ramen Pak Ustad, perempuan itu sering sekali datang ke sana untuk mengecek apakah orang yang ia sukai sedang makan di sana. Zahra juga rajin mengunjungi akun sosial media Yasa, memeriksanya setiap hari, apakah ada status baru, apakah ada foto baru, seakan – akan itu adalah akun media sosial suaminya yang ia harus tahu segala perkembangan di dalamnya.
“Cieee cieee, liat – liat foto cowo cieee…” Kata Nirina, adik Zahra yang masih sekolah di SMA dan senang dipanggil Ayang.
“Kata kamu dia seperti apa Yang?” Tanya Zahra, sambil memberikan gawainya kepada Nirina.
“Menurutku ya…Hmm…Setelah melihat wajahnya…Ini kayanya pekerja keras deh.”
Yasa sering terlihat memakai jaket berwarna merah. Zahra yang menyukai warna merah muda dan ungu, mulai belajar mencintai warna merah. Ia membeli ikat rambut berwarna merah, membeli jepit rambut berwarna merah, membeli kaus kaki berwarna merah, membeli kaus merah, dan setiap kali ditanya warna kesukaannya, ia akan menjawab, “Aku mencintai merah.” Kata Susanti yang mengetahui info dari Akhbar yang sering mengobrol dengan Sadut yang sering bersama Yasa, katanya Yasa senang dengan novel - novel karya Andrea Hirata dan Paulo Coelho. Zahra yang tidak suka novel sebelumnya, mencoba menyukai novel karya Andrea Hirata dengan membeli novel Padang Bulan (karena kata Akhbar, itu adalah buku favorit Yasa) di toko buku dan meminjam beberapa karya Paulo Coelho yang ada di perpustakaan kampus. Di depan gerbang fakultas, Zahra selalu membawa novel – novel itu saat nongkrong bersama teman – temannya, berharap mendapatkan perhatian dari Yasa. Harapan untuk mendapatkan perhatian dari pujaan hati kemudian menjadi kenyataan di siang itu, selesai kuliah Sejarah Peradaban Islam.
“Wow, kamu suka Padang Bulan?” Tanya Yasa yang sedang bersama Sadut.
“Iya Kang.” Kata Zahra dengan mata yang berbinar – binar.
“Bagian apa yang menjadi favorit kamu?”
“Eh, hmmm, oh, ehhhh.” Zahra panik, ia baru membaca sampai halaman ke tujuh, tapi ia ingin terlihat telah mencintai novel itu di depan Yasa. “Aku suka bagian yang waktu mereka menikah.” Tiba – tiba saja ia mengucapkan kalimat itu, Zahra kemudian merasakan panik yang lebih besar dari sebelumnya. “Bodoh sekali kamu Zahra! Memangnya ada adegan menikah di dalam novel ini!? Kamu kan belum tahu Ikal dan A Ling menikah pada akhirnya atau tidak! Lalu siapa yang menikah!? Ah! Sebentar lagi kamu akan dicap pembohong oleh Kang Yasa! Rasakan! Itu adalah karena kebodohanmu sendiri yang sok tahu itu!” Zahra memarahi dirinya sendiri di dalam hati.
“Oh, kamu suka ending-nya ya? Memang akhirnya mengharukan.” Kata Yasa sambil tersenyum senang.
“Alhamdulillah! Beruntung kamu!” Kata Zahra kepada dirinya sendiri di dalam hati.
Zahra begitu senang siang itu, ia melakukan syukuran dengan mentraktir Asri dan Susanti dengan semangkuk bakso Mas Minto. Tapi seperti biasa, kebahagiaan itu kadang cepat berganti menjadi kesedihan.
“Ra, kamu jangan terlalu berharap sama Kang Yasa ya. Dia udah jadian lo sama teman seangkatannya.” Kata Susanti, setelah menghabiskan semangkuk bakso.
“Siapa!?” Zahra terdengar marah sekali, seakan – akan baru mengetahui suaminya telah selingkuh.
“Itu, Teh Saphira, dulu kan pemandu kita ya, yang pendiem itu Ra.”
Setelah mendengar berita itu, Zahra tiba – tiba kehilangan nafsu makan, tiba – tiba semuanya terasa pahit, tiba – tiba ia lemas, tiba – tiba ia ingin pulang, tiba – tiba ia mengantuk sekali, sore itu ia mengantuk tapi tidak bisa tertidur, ia menangis sampai malam datang. Nirina, yang baru pulang ke rumah setelah adzan magrib berkumandang, merasa sangat khawatir dengan Tetehnya yang terlihat depresi di atas kasur.
“Kenapa Teh?”
“Enggak apa – apa Yang.” Kata Zahra sambil membersihkan air mata di wajahnya.
“Bohong! Itu nangis! Kenapa? Kang Yasa ya?”
Zahra tidak bisa menahan kesedihannya malam itu, ia menangis dipelukan Nirina, seperti anak kecil yang ditinggalkan oleh ayahnya di Pasar Malam. Keesokan harinya Zahra sakit demam, ia sakit demam selama tiga hari.
Zahra mencoba menghibur dirinya yang sudah tenggelam ke dalam kolam kesedihan dengan menghadiri seminar – seminar yang memiliki tema seperti, “Pacaran itu haram!” atau “Halalkan aku! Kalau kau tak bisa, sebaiknya tinggalkan aku!” Di dalam seminar – seminar seperti itu biasanya akan ada ustadzah yang membuka pemikiran hadirin, bahwa hubungan lelaki dan perempuan di luar nikah itu mudaratnya banyak sekali, seperti membangkitkan nafsu, membuang – buang waktu, menjadi boros, merusak hubungan keluarga, menjadi bodoh, susah belajar, mematikan hati, menyebabkan sering berbohong, terkena penyakit, menjadi susah tidur, menyebabkan stres, jalan rezeki terhalang, dapat menyebabkan hamil di luar nikah, dan menciptakan kemurkaan Allah. Zahra sebagai perempuan yang sudah belajar agama sejak TK, sebenarnya sudah mengetahui hal – hal itu, dan ia juga setuju. Namun, solusi dari beberapa ustadzah, yaitu membuat proposal menikah, Zahra tidak menyetujuinya. Proposal menikah itu berisi biodata dan visi misi pernikahan kita, biasanya proposal itu diberikan kepada ustadzah, lalu ustadzah akan mempertemukan kita dengan orang yang memiliki visi dan misi pernikahan yang seirama.
“Bukankah Siti Khadijah juga menyampaikan perasaan cintanya pada Nabi Muhammad sebelum mereka menikah? Yaa, walaupun melalui perantara orang lain. Bukankah kita harus mengenal calon suami kita dengan baik sebelum menikah dengannya?” Itulah yang ada dipikiran Zahra, setelah menolak ajakan teman – temannya yang ia temui di seminar untuk membuat proposal menikah.
Walaupun Yasa sekarang sudah bersama Saphira, tapi Zahra tetap mencintai lelaki itu. Dengan perlahan – lahan, di dalam hati Zahra terlahir kebencian yang kuat pada Saphira.
“Apa cantiknya perempuan itu!? Dia kan pendiam dan jarang bicara, apakah saat bersama Kang Yasa ia jadi cerewet?” Zahra menggerutu di dalam hati.
Pernah, di suatu sore yang mendung, takdir mempertemukan Zahra dan Saphira di dalam sebuah angkutan umum berwarna biru yang kebetulan sedang ngetem di depan kampus.
“Teh Saphira! Sehat Teh?” Tanya Zahra dengan wajah yang ceria, padahal di dalam hatinya ia marah – marah.
“Alhamdulillah.” Saphira tersenyum, kemudian mengajak Zahra untuk duduk disebelahnya.
Dipertemuan itulah Zahra mengetahui bahwa Yasa sudah bekerja di sekolah Katolik dan tempat bimbingan belajar, walaupun ia belum lulus kuliah. Ia juga mengetahui Yasa dan Saphira sering pergi ke bioskop dan Gasibu. Zahra merasa cemburu sekali, namun kecemburuan itu ia tutupi dengan senyuman yang seolah – olah ikut berbahagia dengan apa yang sudah terjadi diantara Yasa dan Saphira.
Zahra semakin sering melihat Yasa bersama Saphira. Yasa membawakan helm untuk Saphira. Yasa makan bersama Saphira di Kedai Ramen Pak Ustad. Yasa mengobrol dengan Saphira di tempat parkir motor. Setiap melihat kebersamaan Yasa dan Saphira, Zahra selalu merasa pusing, tiba – tiba demam dan lemas. Sejak saat itu Saphira bertekad untuk belajar cara membenci Yasa. Ia mulai melihat kekurangan Yasa, seperti, lelaki itu kurus, lelaki itu jarang ganti jaket, lelaki itu sering terlihat acak – acakan rambutnya, ia juga mulai menciptakan prasangka buruk terhadap Yasa, mungkin dia sering sakit – sakitan, mungkin dia jarang mandi, mungkin dia jarang gosok gigi, mungkin dia jarang bayar setelah makan gorengan di warung. Tapi, sebanyak apapun prasangka buruk yang Zahra ciptakan, cinta sama sekali tidak mau pergi dari hatinya. Zahra masih mencintai lelaki itu, dan perasaannya tidak pernah berubah.
[08.24] Karno Si Ketua Adat : Ra? Mau ikut gak ke Semeru bulan depan?
[09.33] Zahra : Gak akan ikut.
[09.35] Karno Si Ketua Adat : Semua anggota Suwarnabhumi ikut lho, kecuali kamu. Asli gak akan ikut?
[09.37] Zahra : Gak
Zahra masih berusaha menjadi sosok yang bisa dicintai oleh Yasa. Susanti yang mendapatkan informasi dari Akhbar yang mendapatkan informasi dari Sadut yang dekat dengan Yasa, menyampaikan bahwa Yasa ternyata sempat punya masalah serius dengan orang – orang dari Suwarnabhumi, dan kemungkinan besar Yasa membenci Suwarnabhumi. Sejak mengetahui informasi itu, Zahra tidak pernah ikut lagi kegiatan yang diadakan oleh Suwarnabhumi.
Yasa putus dengan Saphira. Berita bahagia itu Zahra dapatkan saat menghadiri syukuran para kakak tingkat yang berhasil mengikuti ujian sidang skripsi.
“Yasa gak datang ya? Pegat jeung (putus sama) Si Saphira berarti.” Kata Abdul yang baru saja ditanya oleh Mba Marni.
Zahra bahagia sekali setelah mendengar berita itu, ia merasa akhirnya gerbang harapan terbuka lagi untuknya. Tapi kecewa kembali mengunjungi Zahra saat ia melihat Yasa dan Saphira datang bersama ke resepsi nikahan Sadut yang sangat mewah. Di antara kebab, burger, pizza, kentang goreng dan spagethi, Zahra melihat Saphira membawakan Yasa sepiring spagethi. Di antara sushi, ramen, takoyaki, yakitori, tempura, onigiri, Zahra melihat Yasa membawakan Saphira sepiring sushi. Di antara dimsum, bakmi, ayam kung pao, jian bing, dan fu yung hai, Zahra melihat Yasa dan Saphira makan dimsum berdua. Saat Susanti dan Asri sedang makan nasi padang, Zahra tidak tahan lagi, cemburu telah mengacaukan hatinya dan membuat nafsu makannya hilang, ia memutuskan untuk pulang.
Setelah melihat Yasa dan Saphira di resepsi pernikahan Sadut, selama hampir setengah tahun, Zahra tidak pernah melihat lelaki itu lagi di kampus. Zahra mendengar isu – isu mengenai Yasa yang tersebar di jurusan, katanya Yasa telah menikah siri dengan Saphira, katanya Yasa sudah putus lagi dengan Saphira, katanya Yasa sedang sakit dan sudah berbulan – bulan istirahat di rumah. Tidak satupun isu – isu itu diketahui kebenarannya.
Zahra melihat Yasa kembali ke kampus saat pemilihan ketua himpunan. Yasa saat itu menjadi satu – satunya anggota fraksi di angkatannya yang mendukung Big Somad untuk menjadi ketua himpunan. Tapi usahanya itu sia – sia, pada akhirnya Teno Si Lelaki Yang Pernah Merendam Beras Dengan Minyak Tanah yang menjadi ketua himpunan.
Yasa jadi sering mengunjungi kantor Ibu Dosen Pembimbing setelah pemilihan ketua himpunan diadakan. Wajahnya selalu terlihat sedih, kesal dan seperti menahan rasa sakit. Zahra yang kadang berpapasan dengan Yasa, ingin menghiburnya, tapi ia tidak tahu harus berbuat apa, Zahra hanya bisa tersenyum.
Susanti yang mendapatkan info dari pacarnya yaitu Abdul mengatakan, kini Yasa sudah benar – benar putus dengan Saphira. Mendengar berita itu, Zahra jadi bertanya – tanya, “apakah Kang Yasa selalu terlihat sedih karena ditinggalkan Teh Saphira? Apakah ia masih mencintai perempuan itu? Apakah perempuan itu membuatnya depresi?” Pertanyaan – pertanyaan itu membuat Zahra sangat gelisah. Zahra dihantui oleh perasaan gelisah yang menyedihkan. Ia merasa gelisah karena seorang lelaki yang tidak punya hubungan apa – apa dengannya, kecuali hubungan kakak tingkat dan adik tingkat saja.
“Aku menyedihkan ya?” Tanya Zahra pada kedua sahabatnya.
“Enggak Ra, menurut aku itu wajar kok, kita selalu memperhatikan lelaki yang kita sukai, setiap perempuan juga begitu.” Jawab Asri.
“Waktu SMA kamu pernah kaya gini Ra?” Tanya Susanti.
“Nggak pernah Ti.”
“Gawat, cinta pertama ini?”
“Bukan.”
“Cinta pertama kamu siapa Ra?”
“Ada, temen SMP aku Ti, tapi udah meninggal.”
“Meninggal kenapa Ra?” Asri penasaran.
“Gak tahu, sering sakit kepala katanya, muntah darah terus meninggal aja.”
“Kapan meninggalnya?” Tanya Susanti dan Asri berbarengan.
“Waktu aku masuk kuliah.”
“Ini sulit Ra,” Susanti memijat – mijat dahinya “Kang Yasa ini secara teknis adalah cinta kedua kamu, tapi, cinta pertama kamu sudah meninggal, jadi secara teknis Kang Yasa sekarang adalah juara pertama, karena juara pertama yang asli tidak bisa naik podium.”
“Apa maksud kamu Ti?” Asri terdiam sejenak “Oh, iya aku paham. Gak jadi nanya.”
Kedua sahabat Zahra, ingin sekali menolong perempuan itu untuk keluar dari kesedihannya. Namun, di hari itu mereka belum menemukan caranya.
*
Yasa bermimpi masuk ke rumah yang berada di tengah sawah, pada malam hari ketika bulan purnama. Saat terbangun dari tidurnya, Yasa merasa bahagia. Hal pertama yang dilakukan oleh Yasa setelah terbangun adalah mengecek gawainya, ternyata pukul 03.15, setelah itu ia langsung mengambil air wudhu.
Yasa menceritakan mimpinya kepada Ayah saat ia sedang menikmati semangkuk bubur kacang. Ayah mengangguk – angguk setelah mendengarkan cerita dari Yasa.
“Yasa, itu artinya kamu sudah bertemu dengan jodohmu. Kamu lihat di dalam rumah itu ada apa saja?”
“Tidak Ayah, aku hanya membuka pintu, kemudian mimpinya berakhir.”
“Hmm, berarti kamu belum mengenal perempuan yang akan menjadi jodohmu itu. Tapi, perempuan itu sudah mencintaimu, atau sudah mau menjadi isterimu.”
Yasa mengangguk – angguk mendengar penjelasan dari Ayah. Melihat Yasa yang memasang wajah serius, Ayah menasehati Yasa agar jangan terburu – buru menikah lagi, seperti saat ia akan menikahi Saphira yang berakhir dengan tragedi.
[08.11] Khadijah : Assalamualaikum Yasa. Selamat ya akhirnya menjadi sarjana juga hahaha. Maaf kemarin gak datang, soalnya ada keperluan sama suami. Kalau ke kampus mampir ya ke kedai aku, namanya Kedai Sayap Pedas Teh Khadijah, tempatnya di depan Ketoprak Mugny.
[08.33] Yasa : Walaikumussalam Khadijah, makasih ya. Kamu sekarang jadi pengusaha juga? Insya Allah hari ini berkunjung ke kedai kamu.
[08.35] Khadijah : Iya Sa, doain sukses ya. Mantap!
Setelah salat dzuhur di masjid kampus, Yasa berkunjung ke Kedai Sayap Pedas Teh Khadijah, saat itu kedainya cukup sepi, hanya ada seorang lelaki kurus berkaus ungu yang sedang menikmati sayap pedas sambil berkeringat di meja yang paling dekat dengan kasir dan dua perempuan yang sudah Yasa kenal di meja yang paling ujung, di dekat tempat cuci tangan. Perempuan pertama adalah Asri yang berbadan tinggi dan besar, memakai kerudung hijau bermotif bunga – bunga, baju tunik berwarna hijau toska dan celana jin hitam. Sedangkan perempuan kedua adalah Susanti, ia tidak terlalu tinggi, badannya langsing, memakai kerudung merah, kardigan merah dan celana jin biru. Keduanya tersenyum senang begitu melihat Yasa.
“Duduk di sini Kang!” Seru Susanti dan Asri berbarengan.