"Jangan ada yang berubah ya, karena aku tak sanggup jika itu bisa terjadi."~Arta~
Jam menunjukkan pukul 13.00 Wib, Arta bergegas menuju ke kelas Dikta di lantai atas, sambil mengepak-ngepakkan rambut yang setengah lepek akibat cuaca pada siang hari ini sangatlah menyengat membuat tetesan keringat membasahi tubuh Arta. ‘
’Ah, kelas kak Dikta kenapa harus berada di atas sih, bikin gua makin kepanasan aja.’’
Arta bergumam sendiri sembari mengarahkan kipas elektronik miliknya yang setiap hari ia selalu bawa kemanapun meski waktu sekolah sekalipun. Bagi Arta, barang itu adalah barang wajib yang jika sampai itu tertinggal di rumah, Arta bisa menangis histeris karena memang Arta tidak suka dengan keringat apalagi sampai membuat wajahnya menjadi kumus-kumus berantakan.
Satu demi satu anak tangga Arta naiki untuk menuju ke kelas Dikta. Beberapa dari kelas yang lain sepertinya sudah menutup bukunya dan hendak pulang. Tapi berbeda dengan kelas Dikta. Memang sudah menjadi kebiasaan terkhusus di kelasnya Dikta. ya mungkin karena memang dianggap kelas unggulan sehingga terkadang gurunya pun tidak sadarkan diri jikalau waktunya sudah habis. Apalagi murid-muridnya di kelas Dikta teladan semua, jadi sudah dipastikan oleh Arta bahwa mereka tidak akan pernah bisa untuk protes perihal jam karet.
5 menit Arta masih menunggunya didepan kelas Dikta. Bahkan sudah beberapa kali ia melirik jam tangannya hanya untuk melihat seberapa lama Dikta akan keluar dari kelasnya namun Dikta belum juga muncul dipermukaan. Sehingga Arta semakin jenggel menunggunya.
‘’Ah, andai saja mama mengizinkan gua membawa sepeda, mungkin gak se gila ini gua nunggu kak Dikta."
‘’Jdok.’’ Suara keras terdengar akibat pintu terbuka dari dalam.
‘’Aw sakit anj*r.’’ Arta mengumpat sambil memijat-mijat kepalanya yang baru saja terjedot pintu.
Tanpa memperdulikan pak kumis Tyas yang seolah tanpa berdosa malah menyalahkan Arta karena ia berada di depan pintu.
‘’Heh, kenapa kamu mencium pintu?" pak Tyas menatap Arta dengan sedikit heran.
‘’Ah iya maaf pak, tadi Arta pikir pintu ini tempok.’’ Terang Arta mencoba untuk tidak memperpanjang masalah dengan pak kumis satu ini. Karena jika itu bisa terjadi, bukannya tidak berakhir damai, justru nantinya malah Arta yang di senggrong habis-habisan. Oleh karena itu, makanya kenapa Arta berusaha menahan sakit akibat terjedot tadi.
‘’Ah kamu itu ada-ada saja.’’ Terang Pak tyas sembari bedecak lalu beranjak pergi meninggalkan Arta yang sejak dari tadi menahan sakit akibat terjedok kepalanya.
‘’Aduh, buset dah tuh guru, andai bukan guru, udah gua pites-pites tu orang.’’ ekspresi Arta geregetan dengan geram lalu menghembuskan nafas lega setelah pak Tyas berlalu meninggalkannya.
‘’woy, kenapa megangin pintu.’’ Seketika Dikta keluar dari dalam kelas lalu di susul teman-teman yang lainnya untuk segera pulang.
‘’Ah, kak Dikta lama amet sik’’ Arta mendengus kesal lalu beralih berjalan menyusuri lorong-lorong kls.