Liat lo senyum-senyum gak jelas begini karena BTS aja
gue udah bahagia banget.
semoga tetap seperti itu ya lo!.
@dikta
Di sepanjang perjalann pulang, Arta memegangi perutnya, sedang Dikta masih focus menyetir tanpa tau bahwa Arta tengah menahan sesuatu.
‘’Oppa,’’(panggilan special Arta kepada Dikta jika menginginkan sesuatu)
‘’Hem, gak usah ngadi-ngadi, kita pulang.’’ Arta bedecak kesal, karena usaha merayunya tidak ada respon baik oleh Dikta.
‘’Oppa,’’ Arta memanggilnya kembali, kali ini nada bicaranya sedikit manja, berharap Dikta sedikit berbelas kasih padanya. namun tetap saja, Dikta masih bertahan dengan sikap es batunya lebih parahnya lagi dia mengabaikannya.
Tunggu, bukannya Dikta tak ingin menuruti kemauan Arta, tapi sepertinya Dikta kali ini tengah malas dan ingin cepat-cepat pulang, karena sejak dari semalam ia begadang untuk menyelesaikan tugas PR-nya Arta yang berkejibun sedang Arta malah happy dengan nonton drakornya. Jadi hitung-hitung, Dikta balas dendam padanya. Karena tadi malam sudah dibuat begadang.
‘’Ih, oppa, Arta tuh laper.’’ Dikta masih saja pura-pura tidak mendengarnya membuat Arta mencubit pinggangnya.
‘’Aw, anj*r, lu yak, bisa gak sih gak usah becanda kalau gue lagi nyetir, entar kalau kecelakaan gimana?’’
"Tinggal ke rumah sakit atau kekuburan aja, bereskan!." mendengar Arta berbicara dengan jawaban ngelantir, membuat Dikta hanya menggelengkan kepalanya.
‘’Lagian, gue tu laper, bisa gak sih kita cari makan dulu sebelum pulang, lagian bunda gue juga belum pulang, terus gue juga bosen makanan bik Siti muluk.’’
Dikta hanya mendengarkannya saja, sambil menghembuskan nafas dengan kasar.
‘’Oppa, kita makan dulu ya?’’ Dikta tetep kuat dengan pendiriannya tak sedikitpun menanggapi Arta yang tengah merengek meminta makan kepadanya. Lagian toh dia bukan ibunya, ngapain harus menuruti permintaan Arta coba.
Namun seketika hujan mengguyur dengan begitu hebat. Membuat Arta dan Dikta seketika mengumpat. Bersamaan.
‘’Anj*r" terang Arta dan Dikta.
"Ini hujan kenapa kek jalangkung aja coba datang gak bilang-bilang.’’ Arta mulai protes kepada hujan.
"Ya, kalau datangnya pakai permisi itu bukan hujan namanya begok!." protes Dikta keheranan, gara-gara Arta masih terus saja mengoceh akibat hujan turun.
Dikta dengan segera mencari tempat berteduh hingga akhirnya halte bus menjadi tempat perteduhan sementara menunggu hujan reda.
"Turun woy."
"Sabar napa." protes arta lalu sedikit berlari untuk berteduh.
‘’Kenapa lo Ta’?" Arta menatap Dikta seketika, karena Dikta melihat Arta sedang memegangi perutnya.
‘’Gak pa….’’ belum juga menuntaskan jawabannya, seketika perut arta berbunyi. ‘’Groyok.’’ (anggaplah bunyinya begitu.)
Arta menyeringai kuda, sambil memegangi perutnya.
‘’Ya elah, lu beneran laper?"
Dikta menyerngitkan dahinya sambil tertawa.
‘’Heém.’’ Wajah Arta memelas seketika, sedang Dikta tertawa dengan lebar hingga beberapa orang yang tengah ikut berteduh dari hujan memandangi Dikta dengan keheranan.
‘’Ehhem.’’ Dikta berdeham dengan menggaruk kepalanya yang tidak gatal, karena bagaimanapun menjadi pusat perhatian di kesunyian itu tidak menarik.
sedang Arta tak hentinya menertawakan Dikta balik, namun kali ini Arta tanpa mengeluarkan suara dikarenakan Arta takut mengalami kejadian serupa dengan Dikta barusan yang tengah di tonton oleh beberapa orang peneduh.
‘’Malah tertawa lagi lu,’’ Dikta berbisik pada Arta beserta plototan matanya yang ingin keluar.