Arta meletakkan BTS Meal yang sedari tadi dipeluknya diatas meja. Sedangkan dirinya beranjak ke dapur untuk mengambil piring.
"Jamkkanman.. aku mau ambil piring dulu"
Dikta hanya hanya menggangguk dan mulai membuka bungkusan tersebut tanpa sepengetahuan Arta.
"Anjirrr apa spesialnya coba kek gini doang" heran Dikta sembari membolak-balik memperhatikan setiap incinya.
"Bungkusnya sama aja perasan, cuma nambah huruf BTS doang warna ungu, rasanya kali ya yang beda cobain aaahhh" Diktapun dengan cekatan membuka saos dan menuangkannya ke dalam kotak kecil yang berisi nugget lalu memasukkan dua potong sekaligus kedalam mulutnya.
"Siapa tau setelah makan ini gue bisa berubah jadi si Jimin yang selalu Arta akui sebagai pacarnya, cih masih cakepan gue."
Ketika dikta tengah nikmatnya mengunyah Arta pun datang dari dapur, dirinya shock melihat Dikta yang merusak BTS mealnya.
"YAAAAAAAAAAAAKK PABOYAAA" teriak Arta histeris, tangannya seperti sudah ahli melemparkan sendok yang ia bawa tepat dikepala Dikta.
"Awwwwww apa-apaan sihh Ta', sakit anjirrrrrr"
"Lo goblok banget sih kak sumpah"
"Lah salah gue dimana?" Tanya Dikta tak mengerti namun Arta hanya diam tak sedikitpun menggubris Dikta dan lebih memilih untuk membawa bungkusan nugget yang sudah kotor dengan saus tersebut ke dapur.
Dikta yang masih memikirkan apa salahnya hanya mengikuti Arta dari belakang.
"Taaaa Lo mau ngapain kedapur?Lahhh itu Lo mau apain tuh nuggut pakek dipindah ke piring"
Arta tetap pada pendiriannya menutup rapat-rapat mulutnya. Ia merasa sengat kesal pada Dikta, bisa-bisanya dikta merusak BTS Meal miliknya dengan menuangkan saus didalamnya.
"Ta' pliss gue salah apa, kenapa lo diem aja"
Dikta benar-benar tak mengerti dimana letak kesalahannya hingga Arta mendiamkannya.
Dikta, lebih baik Arta mengoceh dengan kecepatan 1000 KM perjam dari pada di diamin Arta.
Setahun yang lalu ia pernah Dikta di diamkan oleh Arta selama hampir seminggu karena ia ketahuan berbohong pada Arta.
Dan itu membuat Dikta benar-benar pusing dibuatnya. Dikta tak ingin kejadian tahun lalu terulang kembali apalagi hanya karena bungkusan, ini tidak lucu.
Arta yang sedari tadi diam mulai membuka kran wastafelnya, mencuci bungkusnya dengan sangat hati-hati seperti tak ingin ada satu bagianpun yang rusak.
"Ta', anjir loo ngapain? Itu kenapa Lo cuci? Mau Lo pakek lagi? Sumpah gak ngerti gue sama jalan pikiran Lo?"
Arta tetap setia dengan kebungkamannya.
Setelah dirasa sudah bersih Arta beranjak ke tempat jemuran baju yang berada dibelakang rumahnya tanpa sedikitpun memperdulikan Dikta yang mondar-mandir mengikutinya.
"Ya Tuhan, lo ngejemur bungkusnya? Anjir otaklo masih aman kan? Apa spesialnya sih ta' bungkusan kek gini doang?"
Mendengar hal itu Arta yang tengah menjepit bungkusan yang telah di cuci itupun sontak menghentikan kegiatannya dan menatap dikta dengan tajam hingga membuat Dikta sedikit kehilangan nyali untuk bersuara lagi.
"Bisa diam tidak?"
Dikta menelan ludahnya kali ini sepertinya Arta tidak main-main.
"Mau gue jepit juga tu mulut terus gue gantung bareng mereka?" Sambil menunjuk bungkusan yang dijemur layaknya baju.