Dering dari panggilan telepon berulang kali berbunyi namun tak digubris oleh si pemilik ponsel. Dirinya justru menutup kepala dengan bantal agar tak mendengar lagi deringnya. Ia sudah tahu siapa yang menelepon sepagi ini. Sayangnya, sekuat apapun ia menutup telinganya dengan bantal, si penelepon tak patah arang. Ia terus memanggil entah sudah berapa belas kali.
Pria itu kalah. Ia mengangkat telepon dengan suara malas.
“Kenapa?”
“Hei, kamu tanya kenapa?” suara si penelepon sewot mendengar pria itu menjawab panggilannya dengan malas. “Hari ini pernikahan putri bungsu Pak Azhar. Kamu tidak akan datang saat akad? Padahal beliau sudah wanti-wanti minta kita ikut acara akad.”
Pria itu bangun dan membetulkan posisi duduknya kemudian menyeka rambut yang masih berantakan.
“Harus, ya? Ga pas resepsi aja?”
“Wahai, Cakrawala yang agung, kamu lupa betapa besar jasa Pak Azhar untuk kemajuan perusahaan kita? Lupa, kalau saat merintis perusahaan, dia yang berbaik hati menyuntikan dana buat operasional perusahaan?”
Pria tiga puluh lima tahun bernama Cakrawala tak menyangkal saat salah satu kebaikan Pak Azhar disebutkan. Satu kebaikan itu mengingatkan Cakra pada kebaikan-kebaikan Pak Azhar yang lainnya. Ia tak bisa mengelak lagi. Dengan terpaksa bangun dan segera bersiap ke acara akad nikah putri bungsu Pak Azhar. Butuh waktu hampir satu jam untuk sampai ke gedung pernikahan yang berlokasi di Jakarta Timur. Jalanan Jakarta selalu macet di bagian manapun.
Cakra menelan ludah begitu sampai di depan gedung pernikahan. Menghela nafas dalam agar tidak grogi. Dia bukan menghadiri pernikahan mantan kekasih, tapi rasanya lebih gugup daripada itu. Seingatnya sudah sangat lama ia tak menghadiri acara akad nikah. Jika di undang ke pernikahan ia lebih memilih saat resepsi.
Mau bagaimana lagi, Pak Azhar sudah seperti keluarganya sendiri selama ia hidup di Jakarta. Pak Azhar adalah Direktur perusahaan tempat Cakra bekerja setelah lulus kuliah. Dia yang menyarankan Cakra untuk merintis usahanya sendiri. Membantu suntikan dana saat Cakra kesulitan di awal merintis.
Kakinya melangkah berat. Inginnya, ia hanya menatap kedepan tanpa menoleh, tapi ia harus menemukan si penelepon pengganggu itu. Matanya mengitari setiap sudut gedung. Pemandangan saat akad memang umumnya sama, hiasan bunga, meja dan kursi serba putih juga para wanita yang dirias cantik.
“Cakra!” sebuah seruan datang dari dekat meja akad.
Seorang pria bertubuh tinggi namun sedikit berisi melambai memanggil Cakra agar mendekat. Dialah si pengganggu itu, Adin namanya. Dia sudah berdiri bersama Pak Azhar yang rapi dengan setelan baju khas pria jawa tengah.
“Alhamdulillah, Mas Cakra mau datang.” Pak Azhar tersenyum lebar sambil menepuk-nepuk pundak Cakra.
Cakra hanya menjawab dengan senyum sopan.
Kesibukan mulai terasa saat acara akad akan digelar. Pengantin pria dan wanita sudah dihadirkan di meja akad. Rona bahagia bercampur tegang lebih tergambar di wajah mempelai pria. Penghulu sudah bertanya, meyakinkan mempelai pria siap untuk mengucap ikrar suci. Prosesi akad akan segera di mulai.
Berkali-kali Cakra menghela nafas panjang. Adin juga sudah menyadari ketidak nyamanan sahabatnya itu.
“Kamu oke?”
Cakra menjawab dengan helaan nafas yang terdengar berat. Dia memaksakan tubuhnya untuk berekspresi normal. Harusnya berekspresi antusias penuh haru dan bahagia. Tapi perpaduan ekspresi itu tidak bisa diciptakan wajah Cakra. Wajahnya lebih terlihat seperti orang yang gelisah. Meski ruangan ini ber-AC, Cakra masih berkeringat. Menatap kearah meja akad dimana sang mempelai pria sedang mengucapkan ijab qobul, siap terikat dalam ikatan halal.
“Sah …”