KAKTUS

Lail Arrubiya
Chapter #5

Sentimen

PT. Multi Labindo sedang kebanjiran pesanan sebulan terakhir ini. Kinerja Divisi Keuangan meningkat semenjak Arafah masuk dalam tim itu. Dia benar-benar bekerja dengan baik. Sesuai keinginan Cakra, dia kompeten, disiplin, pantang mengeluh dan mungkin tidak mudah sakit hati. Sebulan terakhir ini, Cakra sedikit sentimen pada gadis ini. Mungkin karena tiga pertemuan mereka sebelumnya sangat menjengkelkan bagi Cakra. Beruntung, gadis itu tak menampakkan rasa sakit hatinya.

Hei, Arafah manusia biasa. Dia perempuan yang bisa sakit hati juga. Namun, ia tak menyimpan lama dalam hatinya. Terasa nyeri saat itu, kemudian dibuang bersama penat yang lain. Baginya terlalu rugi menyimpan sakit terlalu lama. Dia sudah pernah seperti itu.

“Arafah, hari ini akan ada yang ambil alat dari Indo Aluminium, kamu handle dokumennya, ya. Pastikan semua dokumen lengkap, nanti ada Awan yang akan mengecek kelengkapan alatnya,” ujar Adin.

Arafah mengangguk mengerti. Dokumen yang diperlukan sudah siap, tinggal minta tandatangan Cakra.

Arafah sudah tidak secanggung dulu, sebulan yang lalu. Dia memang mudah melupakan hal yang menurutnya tak bermanfaat dan menghambat kinerja. Dengan percaya diri, ia membawa dokumen yang perlu di tandatangani Cakra.

“Permisi, Pak.” Arafah masuk setelah ketukan pintunya dijawab oleh Cakra. “Ini dokumen untuk alat yang akan diambil PT. Indo Aluminium.”

Tiga dokumen sudah siap Cakra periksa. Mulai dari Invoice, Faktur Pajak serta surat pernyataan penerimaan barang. Beberapa detik Cakra membaca, tiba-tiba ia menggebrak mejanya sedikit keras. Arafah langsung membelalakan matanya, mengerti betul ada yang salah dalam dokumen itu.

Mercury Analyzer 119? Kamu yakin 119?”

"Oh, maaf, Pak. Seharusnya 110.” Arafah sadar ia melakukan kesalahan angka di surat penerimaan barang.

 "Ini karena kamu tidak memeriksanya lagi. Sudah saya tegaskan, teliti! Salah nomer seri bisa repot urusannya. Faktur pajak, invoice semua harus tepat.” Suara Cakra meninggi.

 “Akan saya revisi, Pak.”

 “Harus!” tegas Cakra.

 Arafah mengambil kembali dokumen yang sudah dicoret Cakra dan segera keluar ruangan.

"Cakra, sepertinya kamu sentiment sekali sama Arafah," ucap Adin menutup dokumennya.

“Biasa saja. Kalau salah yang memang harus ditegaskan.”

“Tapi kamu sering sekali mencari kesalah Arafah. Hanya hal sepele saja kamu bisa menegur dia.”

 “Apa yang sepele? Itu fatal. Kesalahan nomer seri.”

“Bukan … bukan yang ini. Sebelumnya, hanya karena dia menjatuhkan fotocopy Purchase Order …”

“Itu juga fatal, jika hilang?”

“Kamu bisa mencopy lagi, atau print langsung dari email perusahaan. Dan itu hanya jatuh disampingnya. Saat dia menyadari Purchase Order-nya ga ada di meja, dia akan mencari. Belum dia nengok ke mejanya, kamu sudah marahi. Bukannya kamu ambil.”

“Din, jangan karena dia rekomendasi dari Pak Azhar, lantas kamu mengistimewakan dia.”

“Nggak, dia memang kompeten. Kamu aja yang suka usil nyari kesalah Arafah. Atau … ada sesuatu diantara kalian? Kalian sudah kenal satu sama lain, ya?” Adin menyipitkan mata penuh curiga.

“Nggak. Mana ada,” bantah Cakra yang buru-buru kembali ke layar komputernya.

Adin berdecak tak percaya. Inginnya ia bisa mengorek lagi tentang mereka. Tapi Adin tahu persis, Cakra sensitif jika dikorek urusan asmara.

Meski Cakra orang yang tegas, ia tidak selalu mempermasalahkan hal sepele, sangat sepele bahkan untuk kasus Arafah. Jikapun iya, artinya dia sedang frustasi karena target penjualan tak sampai. Tapi target penjualan tahun ini sudah tercapai, bahkan perusahaan bisa membawa karyawannya berlibur saat tutup buku.

Pasti ada sesuatu. Insting Adin sebagai sahabatnya selama lebih dari sepuluh tahun berdenting kuat.

Lihat selengkapnya