Warna jingga mulai merangkak memenuhi langit. Deru kendaraan di luar juga mulai ramai saling menyahut. Berebut jalan tak mau mengalah. Asap dari knalpot menjadi cobaan tersendiri buat pengendara motor, tapi itu seperti teman yang menemani perjalanan pulang kerja untuk sebagian orang. Biasa saja. Sudah tidak dikeluhkan.
Pukul empat sore karyawan Multi Labindo sudah mulai merapikan barang mereka. Atau bagi mereka yang belum selesai dengan pekerjaannya, terpaksa menunda keinginannya untuk pulang. Tapi, kali ini pimpinan Multi Labindo ingin pulang cepat. Pekerjaan hari ini selesai tepat waktu.
“Iya, kenapa, Din?” Cakra mengangkat telepon saat keluar dari ruangannya. “Oh, iya. Alatnya sudah sampai tadi siang. Tiket kepulangan kamu menyusul, Laras yang akan pesan nanti. Save flight, ya”
Laras yang namanya disebut langsung tersentak. Sadar akan ada tugas tambahan untuk pemesanan tiket pulang Adin yang sedang tugas di Kertapati.
Cakra berlalu saja tanpa menyapa lagi pada yang lain.
“Go home … go home, tugas besok, besok aja,” seru Mario saat memastikan Cakra sudah turun.
Mereka memang berniat pulang. Sudah tak ada lagi pekerjaan untuk hari ini. Pembeli juga tahu diri, ini jam pulang kerja. Tak ada yang mau mengganggu kepulangan mereka.
Arafah yang paling dulu pamit. Hampir setiap hari dia pamit paling dulu. Itulah kenapa ia selalu bersungguh-sungguh mengerjakan tugasnya. Agar bisa pulang tepat waktu.
Ojek online sudah dipesan, tinggal menunggu sebentar. Tak perlu lama menunggu, karena disini banyak ojek online yang sengaja mangkal. Di sekitar sini banyak karyawan kantor yang membutuhkan jasanya.
“Helm-nya, Mbak,” ujar si pengemudi menyodorkan helm.
Setelah helm terpasang, motor yang ditumpangi Arafah perlahan melaju. Keluar dari kawasan ruko menuju jalanan yang padat. Baru satu kilometer meninggalkan jalanan ruko, terlihat kerumunan di pinggir jalan. Arafah yakin itu kecelakaan.
Tebakan Arafah tepat. Bahkan korban kecelakaan belum dievakuasi. Hanya ditutupi kardus dengan darah yang masih mengalir segar. Di depan, kerumunan yang sama terjadi. Tidak jauh dari lokasi kecelakaan maut tadi.
Mata Afarah memperjelas pandangannya. Ia kenal mobil yang sudah menabrak pohon di trotoar jalan. Kecelakaan tunggal. Laju motor yang lambat karena macet menguntungkan Arafah untuk memastikan. Plat mobilnya sama.
“Pak, aku berhenti disini, deh. Sudah aku bayar di aplikasi, ya.”
Arafah bergegas turun dan menghampiri mobil yang terasa ia sering lihat sebulan ini. Beberapa orang sedang berusaha membantu pengemudinya keluar. Lagi-lagi tebakan Arafah benar, itu mobil Cakra.
“Mobilnya tiba-tiba oleng. Saya lihat dari jauh udah oleng, saya kira mabok orangnya.” Terdengar suara nyaring seseorang yang tadi sudah melihat keanehan pada mobil Cakra.
Sirine ambulan terdengar. Seseorang sigap menelpon ambulan begitu memastikan Cakra masih bernafas. Kepalanya terluka, darah mengalir dari pelipisnya.
“Siapa yang mau nemenin ke rumah sakit?” Bapak yang menelepon ambulan mengitari sekitar. Tapi tak ada yang mau menemani. Mereka tidak mengenal Cakra dan mungkin, mereka bertanya siapa yang bertanggung jawab soal biaya nanti.
“Dia Bos saya. Biar saya yang menemani dia di ambulan.”
Arafah duduk di belakang menemani Cakra yang masih pingsan. Wajah Cakra mulai pucat. Seorang tim medis mulai membersihkan darah yang terus keluar dari pelipis Cakra. Arafah sedikit bergetar melihat kondisi Cakra. Sekelebat bayangan muncul.
Wajah Ayahnya yang pergi karena kecelakaan. Namun segera ia menghilangkan kilas pilu dari hatinya. Lisannya melafadzkan kalimatulloh, untuk menenangkan diri dan berdoa untuk keselamatan Cakra.
Di Rumah Sakit Cakra segera ditangani oleh tim medis. Arafah menunggu dengan cemas di luar. Dalam kecemasan itu ia masih ingat harus menelepon adiknya.
“Assalamualaikum, Ilyas, aku pulang telat hari ini. Temanku kecelakaan dan belum ada keluarganya yang datang … aku janji, setelah ada keluarganya, aku pulang.”
Arafah menghela nafas, tapi kembali teringat sesuatu. Siapa yang harus ia hubungi? Keluarga Cakra? Siapa?
“Ah, Pak Adin,” gumamnya.