Arafah masih digelayuti bimbang. Antara pergi meninggalkan sisi kemanusiaannya atau tetap disini namun resiko dipecat akan terbuka. Melihat Cakra yang mulai memaksa kakinya untuk berjalan. Jelas sekali kakinya bergetar.
“Saya panggilkan suster, ya, Pak.” Arafah hendak berjalan ke arah nurse bell. Tapi Cakra justru berteriak melarang Arafah.
“Pergi! Saya menyuruh kamu pergi!”
Rasa mual di perut Cakra tak tertahan lagi. Kakinya juga tak bisa dipaksa berjalan. Terlalu nyeri. Ia menahan tangannya di ujung ranjang dan muntah di hadapan Arafah, untuk kedua kalinya.
Nurani Arafah membuatnya mendekat, membantu Cakra. Tapi Cakra tak mengizinkannya.
“Pergi!” Cakra berteriak.
Ada rasa pilu merayap di hati Arafah melihat kondisi Cakra yang tak mau terlihat lemah di hadapan orang lain. Ia mengalahkan keinginannya untuk membantu Cakra dan pergi meninggalkan ruangan. Wajar jika Cakra menyuruhnya pergi. Ini sudah bukan ranahnya lagi.
Arafah menunggu beberapa menit, memastikan Cakra menekan nurse bell. Sekilas tadi ia melihat darah menetes dari punggung tangannya, bekas jarum infus yang ditarik paksa.
Sudah lima menit dan tak ada perawat yang datang. Arafah menghela nafas pasrah. Ia membuka kembali pintu kamar rawat Cakra, menghampirinya yang masih duduk lemas di ujung ranjang. Darah masih menetes dari punggung tangannya.
“Terserah Bapak mau memecat saya atau nggak. Paling tidak saya ga meninggalkan kemanusiaan dalam diri saya,” cerocos Arafah sambil menekan nurse bell.
Dengan perawat Rani, ada yang bisa saya bantu?
“Sus, pasien di kamar 405, Pak Cakra, lepas jarum infus dan saya minta tolong untuk membersihkan sisa muntahan pasien.”
Setelah perawat berkata akan segera menangani, Arafah kembali pada Cakra sambil menghela nafas, menyadari kalau dia tak seharusnya masuk dalam ranah ini.
“Maaf saya lancang. Tapi saya akan menunggu disini, paling tidak sampai perawat memasang infusnya lagi.”
Cakra memilih membenarkan posisi duduknya di ranjang. Menghela nafas meninggalkan cerita barusan untuk sejenak. Ia sedang menata hati untuk bisa menatap Arafah.
Tak lama dua perawat dan Office Boy datang. Tak butuh lama semuanya sudah selesai. Jarum infus sudah terpasang dan lantai sudah bersih.
“Nanti, kalau mau ke toilet, dibawa saja sama tiang infusnya. Ini ada obat yang harus diminum,” ujar perawat setelah menerima baki berisi obat.
Tiba-tiba, sebuah panggilan masuk ke ponsel Arafah. Ia sedikit menepi untuk menerima panggilan dari adiknya. Dengan suara berbisik, Arafah meyakinkan adiknya akan segera pulang.
“Nanti malam, kalau sakit kepalanya kambuh, bisa panggil kami,” kata perawat yang sepertinya senior disini.
Arafah hanya mengangguk sedikit tersenyum menanggapi ucapan perawat. Kini sudah disediakan wadah jika Cakra tak sanggup berjalan saat perutnya mual.
“Terima kasih,” ucap Cakra pelan setelah perawat dan Office Boy keluar. “Maaf sudah membentak kamu.”
Arafah berusaha tersenyum, bukan karena ia kesal sudah dibentak Cakra. Namun ada rasa iba yang menjalar di hatinya. Seperti sedang melihat dirinya sendiri versi orang lain.
“Saya sudah lebih baik, kamu boleh pulang sekarang. Sepertinya ada yang menunggu kamu di rumah.”
Arafah setuju. Suara Ilyas sudah terdengar gusar di telepon. Arafah berniat pamit, saat tiba-tiba pintu di buka.