Multi Labindo terasa lebih santai sekarang. Dua atasan mereka sedang tidak di kantor. Adin masih harus menyelesaikan tugasnya di Kertapati dan Cakra masih di Rumah Sakit. Bagi sebagian karyawan, ini merupakan angin segar. Tak ada tekanan. Tapi ada satu orang yang begitu khawatir dengan keadaan Cakra. Dia yang menemani Cakra kemarin. Melihat sisi lain dari pria yang selalu berwajah tegas itu.
“Arafah, jadi kemarin kamu nunggu lama disana?” Laras langsung mendekatkan kursinya ke meja Arafah begitu satu pekerjaannya selesai.
Arafah hanya menggeleng sambil terus fokus ke layar komputernya.
“Arafah pasti dapat bonus, nih, karena sudah nemenin Pak Cakra,” ujar Mario dari meja sebelah Laras.
Ucapan Mario terasa ambigu. Tapi Arafah tak mempedulikannya.
“Apa ga sebaiknya kita jenguk Pak Cakra bareng-bareng?”
Laras dan Mario serentak menatap Arafah dengan tatapan penuh tanya.
“Kenapa? Bukannya kita karyawan Pak Cakra. Wajar, dong, kalau kita jenguk bareng-bareng?”
“Kamu sudah nemenin dia kemarin, masih mau jenguk?” Laras masih menatap Arafah curiga.
“Ya, memangnya kenapa? Kalau kalian menjenguk, aku ga ikut, malah aneh, kan? Masa menjenguk saja hitung-hitungan.”
Laras mengangkat bahu dan menggeser lagi kursinya ke tempat semula.
Dalih Arafah untuk mengajak mereka menjenguk Cakra hari ini, sesungguhnya karena memang dia khawatir. Semalam ia terus bertanya, siapa yang menjaga Cakra jika Pak Azhar pulang. Bukankah, Fahira bilang Cakra sudah hidup sendiri semenjak tinggal di Jakarta?
Sementara Mario dan Laras senang bisa pulang lebih cepat dengan dalih akan menjenguk atasannya. Saat hendak keluar kantor, mereka berpapasan dengan Awan dan Nita yang juga berniat menjenguk Cakra.
“Kita bareng aja,” ajak Awan. “Arafah mau bareng sama aku? Tapi naik motor.”
Laras langsung memberi kode untuk tidak ikut dengannya.
“Eh, aku ikut Mario aja. Lagian kamu, kan, sudah mau jalan sama Nita.”
“Ga masalah, Nita bisa ikut mobil Mario, kan?”
Nita menepuk pundak Awan.
“Jangan plin-plan, deh,” gerutu Nita.
Arafah menegaskan untuk tetap ikut mobil Mario. Di perjalanan Laras langsung membahas opini tentang Sasaeng Awan yang mungkin nanti akan mengincar Nita.
“Liat aja, sebentar lagi Mbak Nita pasti kena sial.”
“Ras, itu cuma opini kamu aja. Mana ada yang begituan di Indonesia. Kamu kebanyakan nonton Kpop, sih. Lagian, ya, Awan sama aku, kan, masih jauh gantengan aku. Masa iya dia punya sasaeng,” Mario menyela yang di ikuti anggukan setuju dari Arafah.
“Ah, kalian, belum aja kena batunya,” Laras merajuk.
Mereka tak lagi membahas obrolan Awan dan fans gilanya. Mereka sudah sampai di Rumah Sakit. Dengan parcel buah yang besar sudah di tenteng Mario dan Awan, mereka masuk ke ruangan Cakra.
Arafah menghela nafas lega begitu melihat seorang pria yang sebaya dengan Cakra menemaninya disini. Arafah memperhatikan lemari kecil yang ada di pojok. Ada sebuah ransel disana. Artinya, dia menginap semalam. Syukurlah.
Mereka yang baru bertemu Cakra langsung berbasa-basi menanyakan keadaan dan kronologi yang hanya di jawab singkat oleh Cakra.