Biasanya saat pagi datang Arafah akan bersemangat menyapa rekan kerja bahkan Ari, si Office Boy. Tapi hari ini ia lesu, banyak melenguh sendu. Ponselnya belum ditemukan. Untung saja ia bisa langsung memblokir rekening bank-nya. Arafah sudah mencoba melacak ponselnya lewat ponsel Ilyas, tapi GPS di ponselnya di non-aktifkan.
“Kan, aku bilang apa? Kamu akan kena sial kalau dekat dengan Awan,” Laras bersungut-sungut merasa opininya benar. “Mbak Nita juga, hari ini dia ga masuk, katanya sakit. Pasti gara-gara kena terror juga.”
Arafah melenguh lagi.
“Aku belum ada budget buat beli ponsel baru,” rengeknya kemudian menangkupkan kepalanya diatas meja.
Banyak yang ia sesali dari kehilangan ponselnya ini. Soal budget, iya. Soal isi percakapannya dengan Fahira juga, iya. Ia masih curiga Cakra sengaja menyembunyikan ponselnya.
“Tapi, masa, iya? Ga mungkin, kan, Pak Cakra seusil itu?” gumamnya pelan.
Wajah Arfah masih ditekuk seharian ini.
Setelah jam istirahat, Adin yang sudah berada di kantor menyuruh Arafah ke ruangannya.
“Duduk dulu,” ucap Adin seraya mengambil sesuatu dari laci mejanya. “Ini ucapan terima kasih kami, karena kamu sudah membantu Cakra. Dan kamu juga yang membayar biaya awal masuk Rumah Sakit, kan?”
Arfah mengangguk ragu.
"Ambil,” seru Adin menggeser sebuah amplop cokelat yang diperkirakan Arafah isinya uang. “Itu uang pengganti biaya Rumah Sakit dan sedikit ucapan terima kasih.”
Arafah masih belum mengambil amplop itu.
“Kenapa? Bahkan kamu belum membuka isinya. Saya rasa itu lebih dari cukup.”
“Bukan begitu, Pak,” sela Arfah cepat. “Hmm … justru saya merasa uang itu terlalu banyak. Saya ga melakukan apapun untuk Pak Cakra, jadi, apa saya boleh terima uang penggantinya saja.”
Sorot mata Adin tajam menatap Arafah. Tapi yang ditatap masih tertunduk.
“Kenapa kamu ga mau?”
“Seperti yang saya bilang, saya ga melakukan apapun untuk Pak Cakra. Saat di lokasi kecelakaan, sudah ada yang melakukan pertolongan untuk Pak Cakra dan memanggil ambulan. Saya hanya menemani, karena saya kenal beliau.”
“Tapi kalau bukan karena kamu, belum tentu saya dan Ben tahu dia kecelakaan.” Adin meraup wajahnya. “Saya harap, kamu mau menerima ini. Saya akan merasa tidak dihargai kalau kamu menolak.”
“Tapi ini terlalu banyak, Pak,” Arafah masih tak menerima amplop itu.
“Saya mohon terima, Arafah.” Adin menggeser amplop coklat tepat di hadapan Arafah.
Arafah menelan ludah. Harusnya ia senang karena ia memang butuh uang itu untuk membeli ponsel baru. Tapi hatinya bilang ia tak pantas menerimanya. Dia hanya menemani Cakra, bahkan jika ingat kejadian di Rumah Sakit rasanya ia lebih pantas dipecat. Ia sudah lancang, masuk pada ranah yang seharusnya tak ia ketahui.
Ragu-ragu Arafah mengambil amplop coklat di hadapannya.
“Nah, yang ini, saya dititipi amanat untuk memberikannya pada kamu,” Adin menyodorkan paper bag yang sedari tadi memang ada di atas meja Adin. “Saya dengar, kamu kehilangan ponsel, ya? Pak Cakra memberikan ini untuk kamu.”