Adzan subuh baru saja selesai berkumandang dan Arafah sudah siap tiga puluh menit sebelum subuh di atas sajadahnya. Dia segera bangun dan menunaikan kewajibannya dengan khusyu’. Seusai itu, Arafah keluar kamar menuju kamar mandi. Cucian yang tak terlalu banyak segera ia masukan ke dalam mesin cuci. Arafah tidak mau menunda pekerjaan yang bisa beranak pinak dengan cepat. Biasanya, jika sudah melihat pekerjaan yang menggunung, justru akan lebih malas mengerjakannya.
Sambil menunggu cuciannya selesai, Arafah mengecek isi kulkas. Sayur sawi dan jagung yang sudah ia iris dan disimpan dalam wadah kedap udara, ia keluarkan. Sudah setahun belakangan Arafah menerapkan metode food preparation untuk memudahkannya menyediakan makanan buat Ibu dan adiknya.
“Oseng sawi putih dan telur dadar,” gumamnya sambil menyiapkan bahan penunjang lainnya.
Suara perabotan dapur yang beradu menciptakan nada sumbang membangunkan penghuni lain di rumah ini. Adiknya yang berusia dua puluh tahun masuk kamar mandi berniat mandi dan berwudhu. Dan tak lama Ibunya datang.
“Masak apa, Ra?”
“Oseng sawi aja, ya, Bu?”
“Oh iya, itu, kan, memang kesukaan Ayah kamu.“ Senyum mengembang langsung terpancar dari bibir Ibunya saat menyebut nama Ayahnya.
Arafah ikut tersenyum, tapi getir.
Bu Anissa namanya, ibu dari Arafah yang mengidap Alzheimer. Penyakit itu semakin parah setelah kematian suaminya. Memori Bu Annisa terhenti disitu. Ia merasa suaminya masih hidup. Kadang tercampur antara masa lalu dan masa sekarang. Arafah dan Ilyas berusaha mengikuti saja alur perasaan Ibunya. Mereka tak ingin melukai hati Ibunya.
Dulu, mereka tinggal di Jakarta. Namun, biaya hidup dan biaya pengobatan Ibunya tak lagi tercukupi. Akhirnya, mereka sepakat menjual rumah dan pindah ke Bogor. Ada rumah sederhana milik neneknya yang sudah lama hanya di kontrakakn pada orang lain. Kini mereka huni dan memulai hidup baru disini. Selain itu, ada Dokter Irman, yang juga sahabat Ayahnya yang bertugas di dekat sini, mempermudah untuk pengobatan Ibunya.
Makanan sudah siap, cucian sudah selesai tinggal dijemur.
“Ibu makan duluan, ya. Aku mau jemurin baju dulu.”
“Ayah kamu mana? Panggil dulu buat sarapan bareng.”
Lagi-lagi Arafah hanya tersenyum getir. Ia memilih untuk pergi menjemur baju tanpa mengiyakan perintah Ibunya.
Memang, sosok Pak Harun – Ayah mereka, sangat istimewa. Sosok penyayang, humoris dan bertanggung jawab. Yang selalu ada untuk mereka. Saat ia pergi terasa sekali kehilangannya. Apalagi Pak Harun pergi karena kecelakaan, mendadak. Seperti badai yang datang tanpa angin sedikitpun. Langsung memporak-porandakan perasaan. Hancur.
Arafah bukan gadis tanpa perasaan. Saat sang ibu terus menanyakan keberadaan sang ayah, itu sedikit menggores hati. Ingatannya tentang sosok ayah yang lembut dan humoris membuat Arafah membendung air mata. Baru dua tahun ia hidup tanpa ayah, masih ada cela ia mengingat sang ayah dalam sendu. Tapi, tak pernah ia biarkan sendu itu terlalu lama singgah di hati. Ia akan segera menyeka air mata, bahkan sebelum air mata itu jatuh.
“Minum obatnya, Bu,” seru Arafah seusia sarapan.
“Ibu ga sakit, kenapa harus minum obat?”
“Eh, maksud aku ini vitamin. Ibu suka cepat lelah, kan?”
Bu Annisa tetap menggeleng.
“Bu, kalau Ibu mau minum vitaminnya, aku mau ngajak Ibu jalan, deh,” bujuk Arafah dengan wajah meyakinkan.
Tentu saja ia yakin. Ia baru saja dapat rezeki lebih dari kantor.
Bujukan Arafah berhasil. Bu Annisa meminum obatnya dan mereka berdua akan pergi ke sebuah mall. Ilyas punya pekerjaan di luar di akhir pekan. Ia menjadi guru privat di beberapa tempat.
“Bu, aku harus beli ponsel dulu. Ponselku hilang.”
“Anak ceroboh,” celetuk Ibunya.