Wak zaid kini hanya tinggal nama, kebaikan, keramahan, kehangatan dan ketulusannya lah yang akan selalu berbekas didalam ingatan semua orang yang pernah mengenalnya. Langit ikut menangis mengiringi kepulangan wak zaid pada sang pencipta, meninggalkan keluarga yang begitu ia cintai, namun dia tak mampu melawan takdir, suka atau tidak, maut sudah tercatat dan takkan bisa terelakan.
Bersamaan dengan kepergian sang ayah, nasib Asma masih di ujung tanduk, bersama dengan keempat teman dan pelatih mereka, terbaring lemah tak berdaya, berjuang melawan maut demi orang yang dicintai.
***************
Sepuluh hari sudah Wak Zaid berpulang dan dalam sepuluh hari itu pula Asma belum sadar dari koma nya, sementara satu orang teman dan pelatih nya sudah melewati masa kritisnya dan tiga orang siswa lain nya meniggal dunia dua hari setelah kepergian wak zaid. Bu Maryam tak pernah absen menjaga putri kesayangan nya itu, kadang Umar pun ikut menjenguk kakak tercintanya walau pertanyaan-pertanyaan polos sering kali keluar dari bibir mungil itu yang sering kali membuat sang bunda diam seribu bahasa.
Lantunan ayat suci Alquran tak pernah berhenti diperdengarkan, doa tak pernah berhenti dipanjatkan, doa seorang ibu yang berusaha merayu sang pencipta agar segera membawa kembali putrinya kedalam pelukannya.
“Assalamualaikum.” Beberapa teman sekolah Asma bergantian datang menjenguk, guru guru nya pun beberapa kali melihat keadaan Asma yang sangat memprihatinkan.
“Waalaikumussalam.” Jawab Bu maryam, keempat siswi itu memcium tangan bu maryam
“ gimana keadaan Asma bun?.” Tanya salah seorang gadis perempuan berambut pendek yang tak lain adalah teman sekelas Asma
“belum ada perkembangan wi.” Jawab bu maryam dengan raut sendu.
Seorang teman yang memakai hijab mendekati Asma, memegang lengan ringkih itu. Dipandangnya teman yang selama setahun ini menjadi sahabat sekaligus teman sebangku nya.
“awak datang lagi Asma, kapan kau bangun?, gak capek tidur terus.?” Tanya gadis yang bernama Nada Anjani itu, air mata sudah memaksa ingin keluar, namun gadis itu menahan dengan sekuat tenaga.
“jangan males ma, kelas sepi gak ada kau...” Ucap nya lagi.
“awak udah datang ke GOR ma, kau bilang mau pamer mendali emas, kau bilang mau jual emas nya buat nambal gigi bu Dia, kau....” kesedihan nya meluap ketika mengingat kebersamaan mereka, rencana, mimpi dan harapan mereka.
“kenapa kau disini ma...kenapa kau tidur disini macam orang bodoh!, bangun ma!, awak capek bolak balik kemari ma, awak capek liat kau malas-malasan disini!!.” Tangis pecah diruang itu, Nada seolah hilang kendali.
“stop da!.” Dewi dan teman teman lain berusaha menjauhkan Nada dari tubuh Asma. Bu maryam tak sanggup menahan tangisnya melihat kerapuhan sahabat karib putrinya.
“Asma gak mau bangun wi, awak takut....” lirih nya seraya memeluk dewi
“ Asma anak yang kuat Nada, bunda yakin kalau....Asma bakal kumpul sama kita lagi...” ucap bu maryam yang berusaha menyemangati sahabat putrinya. Tidak, lebih tepatnya dia meyakini diri nya sendiri bahwa putrinya akan baik-baik saja.
Ruangan yang dilingkupi kesedihan itu berubah ketika suara pintu terbuka dan dua sosok muncul dari balik pintu.