“Masalah menanti bocah-bocah laki-laki yang memberontak melawan orangtua mereka dan dengan seenaknya meninggalkan rumah orangtua mereka! Mereka tidak akan pernah mengalami kebaikan dunia, dan cepat atau lambat, mereka harus membayarnya dengan pahit.”
Puncak Jayawijaya! Salah satu dari tujuh gunung tertinggi di dunia. Satu-satunya tempat bersalju di negeri “Zamrud Khatulistiwa”. Menurut panduan yang kubeli di toko buku bandara, pendaki pertama yang menaklukkan puncak tertinggi gunung ini adalah Heinrich Harrer bersama ketiga temannya yang bernama Temple, Kippax, dan Huizinga pada 1962. “Carstensz.” Aku mencoba menyebutkan panggilan untuk puncak itu—Puncak Carstensz—supaya enggak kedengaran bodoh. Siapa, sih, yang memberi nama susah begitu untuk gunung lokal? Kenapa namanya bukan Puncak Subroto? Atau apa, deh, yang gampangan sedikit. Carstensz. Menulisnya saja susah. Jalur pendakian yang paling aman untuk mencapai puncak itu melalui Sugapa-Ugimba-Carstensz. Kita juga bisa melihat Sungai Kemabu dan wisata arung jeramnya, Sungai Nabu dengan aliran terbalik ke arah Gunung Carstensz, dan sungai misterius berbau harum yang juga merupakan sumber garam di atas gunung. Kalau mau, kita juga bisa menemukan air terjun dan padang golf di Putigapa.
Namun, kami ke sini bukan untuk berwisata.
Beberapa hari lalu, aku masih anak biasa. Anak biasa yang yakin 100% manusia biasa, enggak tahu teman sekelasnya makhluk pengisap darah yang sudah insaf. Anak yang enggak pernah membayangkan keluarga dan teman-temannya akan menjadi korban acara halalbihalal vampir di pusat kota Jakarta. Beberapa hari lalu, aku hanya anak biasa yang enggak tahu bahwa sepupuku bukanlah orang yang selama ini kukenal. Beberapa hari lalu, kalau aku dapat tiket pesawat dan paket ekspedisi gratis menuju Puncak Jaya, aku yakin akan menjualnya di internet.
Di sampingku, ada Luna; gadis vampir yang membawa semua perubahan signifikan dalam hidupku. Ia memandang ke luar jendela, tampak bosan sekaligus galak. Sepertinya, ia bisa saja menjotos kaca jendela lalu melompat keluar saking lamanya penerbangan berlangsung. Di kursi lain, duduk Pino —bocah android bertampang culun yang sedang menonaktifkan dirinya. Aku tadi bertanya kepadanya, karena semua alat elektronik harus dimatikan selama penerbangan, apa yang harus kami lakukan terhadapnya? Ia bilang, supaya aku yakin enggak akan mati sebelum bertemu Salju Abadi di Puncak Jaya, ia akan menonaktifkan dirinya sampai tempat tujuan.
Pada hari aku bertemu Pino —atau, panggilan kecenya: Power Bank— aku menemukan banyak informasi aneh dan memusingkan. Pertama, burung phoenix ada dan selama ini kerjaannya hanya membujuk gunung-gunung berapi untuk tidak meletus. Kedua, sepupuku kemungkinan besar adalah musuh bebuyutan Sang Phoenix, dan sepertinya mengincar dominasi atas manusia. Ketiga, aku kemungkinan besar bukan manusia biasa, seperti yang kukira. Keempat, Sam, sahabatku yang kukira sudah mati, ternyata masih hidup dan berada di tempat tujuan kami, di Puncak Jaya. Ya, setengah hidup. Sebagai vampir.
Melewati penerbangan memegalkan dari Jakarta ke Jayapura, kami sekali lagi menaiki pesawat kecil ke Bandara Mulia selama kurang-lebih satu setengah jam. Di udara, aku dapat melihat moncong-moncong gunung bermunculan di sana-sini, seolah siap menerkam kalau pilot kami kurang awas menghindarinya. Kata Luna, yang kami hadapi berbahaya, tapi sekarang aku bersyukur saja kalau kami bisa selamat dari penerbangan mengerikan ini.
“Menurut kamu, siapa yang akan kita temui nanti?” tanyaku, mencoba mengisi kebosanan. Aku membaca buku panduan lagi. “Katanya, kota terdekat namanya Wamena. Jalurnya disebut ‘jalur tengkorak’ karena sangat enggak aman … wah, asyik. Tapi katanya, di sana masih banyak yang tinggal di honai. Katanya, di tengah honai ada dapur. Dan rumah-rumah itu dibangun dengan pintu rendah tanpa jendela agar udara di dalam tetap hangat. Seru, ya? Kamu pernah tinggal di honai?”
Luna menoleh. Sepertinya, sejakkami naikpesawat dari Jakarta, ini pertama kalinya ia memandangku. Dari kemarin, ia ngambek terus. Salahku, sih. Kurasa.
“Pernah,” katanya. “Cukup lama juga. Di sana enak, sih. Dingin, dan pemandangannya bagus.”
Aku mengangguk dan meneruskan membaca buku panduan. Dari gambar yang kulihat, kelihatannya memang bagus. Seperti kota kecil di Eropa. Rumput hijau menghampar sejauh mata memandang. Rumahrumah kecil bertebaran di mana-mana. Dari foto saja, sudah bisa dilihat bahwa udaranya sangat bersih. Kupikir, Arfika pasti senang tinggal di tempat seperti itu. Sebagai burung, dia pasti senang. Hei, mungkin itu kenapa Papua disebut “Bumi Cendrawasih”.
Kubaca artikel tentang pendakian ke Puncak Jaya. Sederet nama kuperhatikan. Tembagapura. Trem menuju kawasan Gressberg. Zebra Wall. Danau Biru. Gletser!
“Kita perlu bawa perlengkapan mendaki?” tanyaku lagi. “Kayaknya, kalau mau mendaki tebing es, perlu perlengkapan khusus.” Aku menelan ludah. “Katanya, pendakian bisa menghabiskan waktu sepuluh hari.”
“Kalau memang kita di atas sana selama sepuluh hari,” sahut Luna dengan suara enggak sabar, “Arfika pasti sudah bangkit lagi, dan dia akan segera menyusul kita. Lalu, dia bakar semua Krionik di atas sana. Tamat cerita.”
Kami turun dari pesawat dan segera menemui utusan Krionik. Kami naik mobil besar menuju tempat penginapan. Keesokan harinya, kami memulai pendakian. Selama sepuluh hari, kami bersusah-payah menempuh udara dingin di pegunungan raksasa itu. Pada hari kesepuluh, gumpalan api melayang menuju kami, membentuk burung merah yang menyala-nyala. Dia membakar utusan Krionik lalu menyerang markas Krionik. Kemudian, dia membantu kami turun lagi dari Puncak Jaya. Kami semua terbang kembali ke Jakarta dengan tiket yang dibelikan Krionik. Kami makan soto babat, Luna minum darah golongan A dari RSCM, dan Power Bank diservis di toko komputer terdekat. Kami hidup bahagia selamanya. Selamanya beneran. Tamat cerita.
Maunya begitu, soalnya aku benar-benar capek mendapat informasi aneh yang cuma ada di komikkomik saja. Namun, begitu kami turun dari pesawat, semuanya tampak tenang dan sunyi. Enggak ada tandatanda Arfika akan muncul dan membakar semua yang tampak di depan mata.
Kami berjalan ke pinggir, menjauhi landasan pesawat. Enggak tahu apa yang harus dilakukan dan merasa agak kedinginan. Aku merapatkan jaket. Tem-pat terdingin yang pernah kudatangi adalah kursi di seberang Sam ketika cewek itu memandangku dengan tatapan yang bisa membekukan neraka.
Kupikir aku akan mendengar denting besi beradu ketika Pino, Si Power Bank Pendiam, bergemeletuk giginya, tapi ternyata enggak. Ia memandangi tiket-tiket yang diberikan padanya. “M. di nama kamu ini apa, sih? Muhammad?” tanyanya kepadaku.
“Oh.” Aku menggeleng. “Bukan. Mandala.”
“Archimedes Mandala.” Ia tertawa. “Orangtua kamu memberi nama yang terlalu keren.”
Aku merengut. “Memangnya kenapa? Memangnya “mandala” artinya apa, sih?”
“Kosmos. Seisi dunia. Keren pokoknya.”
Aku mengangguk. Memang keren juga, kedengarannya. Selama ini, kupikir namaku memang keren. Kalau ketemu Heidi nanti, aku mau menyombongkan namaku, ah.