Kala

Mizan Publishing
Chapter #2

DUA RODA BESI

“Pinokio sangatlah bodoh karena mencoba menjadi bocah sungguhan. Dia jauh lebih baik jika tetap memiliki kepala kayu.”

Aku menunggu mobil raksasa itu menggencetku di antaranya dan tanah dingin, agar akhir hidupku cepat dan menyakitkan. Namun, bayangan yang menghantui mataku tidak kunjung pergi. Sampai akhirnya, aku kehilangan minat untuk terus merasa ketakutan. Menutup mata dan membukanya lagi. Masih gelap saja.

Mungkin aku sudah mati. Kematianku datang begitu cepat, sehingga sensor sakit di tubuh belum mencapai otak ketika aku mati. Kegelapan ini adalah kegelapan Dunia Antara. Kalau aku melangkah, mungkin bara api akan muncul di bawah kaki. Kalau benar, berarti mati enggak mengesankan sama sekali. Hanya ketakutan sejenak, gelap, dan sudah —begitu saja, aku mati.

Aku mencoba melangkah karena penasaran. Namun,alih-alihlantaiyangberpendar,kegelapanhilang dari sekelilingku. Digantikan ruang kosong dipenuhi roda gigi dan rangkaian mesin membingungkan, yang terus-terusan membuat bunyi. Jimmy Jambul dan Luna berdiri di dekatku. Si Power Bank masih tampak ngeri.

“Dia belum melangkah,” kata Jimmy Jambul. “Masih melihat kecelakaan mobil tadi.”

Aku bangkit duduk. Memandang sekeliling lalu memandang jambul Jimmy. “Maksudmu, orang-orang yang celaka di sepanjang jalur tengkorak itu sebenarnya sengaja membalikkan mobilnya?”

“Kadang-kadang,” jawabnya. “Tidak semua orang bisa datang ke sini dengan cara itu. Undangan, izin, atau nomor anggota diperlukan untuk memasuki tem-pat ini.”

Aku memikirkan Sekretariat. Menurut Luna, kami hanya bisa menemukan tempat itu kalau dipandu oleh Arfika. Mungkin, tempat ini menggunakan sistem yang sama. “Tempat apa ini?” tanyaku.

“Portal,” sahut Jimmy Jambul. “Dari sini kita akan bergerak menuju Salju Abadi .… Atau tepatnya, replika yang diciptakan oleh kami.”

“Apa?” Aku mengernyit keheranan. “Jadi, bukan Puncak Jaya yang sesungguhnya?”

Dia menggeleng. “Bukan,” katanya. “Sama saja seperti Sekretariat. Tempat yang berbeda dengan dunia tinggalmu, tapi juga berada dalam duniamu.”

Aku memutuskan menyimak penjelasan belakangan saja. “Bagaimana cara membangunkan Power Bank ini?”

Aku mulai menusuk-nusuknya di berbagai tempat. Sekali, tanpa sengaja, sepertinya aku menekan tombol Brightness sehingga Pino tampak menghitam dengan cepat. Akhirnya, sementara aku mencari tombol untuk mengembalikannya dengan panik, Pino membuka mata dengan tarikan napas ketakutan. Ia langsung bangkit duduk dan napasnya perlahan melambat begitu melihat kami.

“Hei, kenapa saya hitam?” tanyanya. Ia menarik bawah telinga kirinya beberapa kali dan warna kulitnya kembali lagi.

“Kita akan segera berangkat,” kata Jimmy Jambul, memberi tahu dengan suara lantang. Seolah menerima perintah darinya, roda-roda gigi di sekitar kami mulai berputar semakin kencang.

Pino berdiri. Mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia berhasil mengetahui sesuatu dari observasinya itu. “Kamu android,” katanya, kepada Jimmy Jambul. “Kamu android. Jalan menuju portal ini mungkin saja dibangun oleh kekuatan gaib, tapi portal ini berjalan dengan teknologi tinggi. Dan ini … ini … ini teknologi yang bahkan belum pernah saya lihat sebelumnya.”

“Ini teknologi yang bisa digolongkan sederhana di tempat asalnya,” sahut Jimmy Jambul tenang. “Saya android. Tapi tidak seistimewa yang kamu bayangkan. Saya hanya wakil kepala penelitian. Saya bagian dari percobaan. Menjadi wakil kepala hanya karena bisa disuruh-suruh tanpa menentang ....”

“Tapi ini …,” Pino menyela cepat. Ia mengernyit. “Penelitian macam apa yang kalian lakukan?”

Jimmy Jambul menghela napas. “Macam-macam,” jawabnya singkat. “Anda semua akan mengetahuinya begitu mencapai lokasi tujuan. Dimohon kesabarannya. Kita akan tiba dalam waktu lima menit.”

Ruangan yang dikelilingi roda gigi itu sama sekali enggak bergerak, sehingga konyol rasanya terus berdiri mematung di sana dalam kesunyian. Aku memandangi Jimmy Jambul dan menyadari bahwa suara datar dan gerakan kakunya adalah karena ia robot. Aku mendengus. Semaju apa pun teknologi yang mereka gunakan di sini, jelas teknologi yang membangun Pino Si Power Bank Pendiam lebih maju. Buktinya, mereka bisa membangun robot yang memiliki gerak-gerik dan cara bicara yang lebih manusiawi. Archie dan Geng Keren 1, Krionik -7. Ini kebiasaan yang harus kuhentikan.

Tempat asalnya, kata Jimmy Jambul. Dari mana tempat asal roda gigi yang berputar tanpa suara ini? Mungkin maksudnya dari luar negeri. Dari Jepang, mungkin. Aku sok tahu. Namun, sepertinya mereka enggak mau melanjutkan tanya-jawab tadi. Seharusnya aku menyela waktu mereka mengobrol tadi.

“Sudah sampai,” kata Jimmy Jambul. Padahal, sepertinya kami enggak bergerak ke mana-mana. Ia menarik tuas yang mencuat di antara roda-roda, dan menyibak pintu keluar. Putih terang, sehingga aku harus memicingkan mata.

Lihat selengkapnya