Kota X, 2002
Bias hangat mentari pagi menerpa, perlahan kehangatannya menyeruak diantara tirai kabut berlapis embun. Cahaya lampu jalan dan berbagai bangunan mulai menghilang, berganti cerah mentari. Langkah kaki dan deru kendaraan di berbagai sudut menghiasi jalan-jalan. Suara pagi menghiasi rumah-rumah yang sebelumnya hening kini berganti ramai. Derak pelan atau terburu-buru langkah pada lantai kayu, hentak pelan atau tergesa di susuran tangga spiral berlantai marmer. Seruan pendek bapak-bapak yang bergegas berangkat bekerja, omelan ibu-ibu yang menggema diseluruh penjuru ruangan, beradu erang malas anak-anak yang baru terjaga. Aroma pekat kopi dan teh beradu dingin air mineral yang tersaji dalam gelas-gelas. Berdamping denting sendok dan garpu yang bergesekan, beradu dalam sepiring hidangan masih dengan uap mengepul.
Kota itu, kota yang sangat terkenal akan alamnya. Suatu keelokan yang berpadu bangunan klasik dibeberapa titik dan menjadi pemikat tersendiri pergerakan orang-orang dari segala penjuru. Kota kecil itu begitu akrab dengan terpaan hawa dingin, entah itu ketika pagi dengan sang fajar menyapa atau ketika malam dengan sang bulan menghampiri. Dingin yang bagaimanapun juga tak menyurutkan minat beraktifitas, termasuk pada pagi yang mulai menghangat kini. Gelombang hangat mentari pagi yang melingkupi kota, masih diselubungi aroma basah hujan semalam semakin mengentalkan suasana nan asri.
Kota kecil itu hanyalah bagian kecil yang membentang di penjuru bumi. Meski keberadaannya kecil bak sebuah titik yang tampak biasa, namun beribu cerita tumbuh di bumi itu. Beribu cerita terpampang jelas di berbagai sudut, dan beribu cerita tersembunyikan. Tersamar dalam pusaran waktu, menanti untuk diselesaikan.
--