Bulan : "Wajah yang kurindukan, namun bukan kamu..."
Aku harap suatu hari kamu muncul, hadirkan getar dijiwaku. Karena bagiku padamulah jantungku berdetak. Entah menutup hati atau hatiku telah mati karena terlalu lama menantimu, yang tak pasti dan tak tahu adanya...
Aku melangkah melintasi pelataran tengah fakultas dengan deret kursi di kiri kananya. Terus menyusurinya, dan berbelok ke kiri pada koridor dengan berderet-deret ruangan. Samar tampak Mara berdiri di dinding sisi kanan depan, dia menyender sembari menatap telepon genggam. Seakan mendengar langkahku, Mara mengangkat kepala dan tersenyum. Dia melambai padaku yang tersenyum, berdiri dihadapannya. Dia akan menoleh kembali pada telepon genggamnya, namun tak jadi. Entah mengapa raut terkejut dan bahagia muncul diwajahnya.
"Fajar...!" Mara tersenyum malu-malu.
Nama itu seperti mantra bagiku, membuat jantungku berdetag penuh harap. Aku berbalik mencari tahu siapa gerangan. Namun seakan perangkap yang sama, pemuda itu berdiri di sana hanya berjarak beberapa langkah dariku, dia tersenyum kentara menatap Mara dibelakangku. Seketika senyumku yang nyaris muncul menghilang.
"Bukan kamu...," suara hatiku berbisik.
"Lan... mmm aku kesana dulu ya...," Mara menyentuh lenganku, menyadarkanku, membuatku menoleh padanya yang masih tersenyum kali ini sedikit merasa bersalah.
"Iyaaa, sana...," aku mencoba tersenyum.
Mara tersenyum, merasa lega. Dia melangkah menghampiri pemuda itu. Aku berbalik, tanpa sadar memperhatikan langkahnya. Tatapanku teralih saat seseorang menyentuh lenganku. Aku menoleh, menemukan Vian yang entah darimana kini berdiri di kananku.
"Huuu mentang-mentang sekarang punya pacar, berduaan mulu," Vian berseru, berkacakpinggang menatap langkah Mara.
"Tenang kan ada gue...," Vian kembali berseru, menoleh padaku dan tersenyum sumbringan.
"Yuk!" lanjutnya.
Aku menoleh pada Vian yang kemudian berbalik menuju kelas diujung kanan koridor. Sebelum itu aku menoleh sesaat kearah yang dilalui Mara, namun hanya sosok lain yang kini berkeliaran disana. Mara dan pemuda itu sudah pergi entah kemana, menghilang di ujung koridor. Sementara aku masih berdiri disini mematut namamu, nama yang selalu membuatku berharap.