Bukan kota X, 2012
Fajar : "Rasaku yang terselubung, dalam kenangan kabur, terhapus dalam ingatanku..."
Di bumi ini, dibawah langit biru alur kisah menemukan titik persimpangan. Pada bumi berbeda, pada sisi berlainan..., dalam hangat yang mencairkan dan dalam dingin yang membekukan..., pada jalan berbeda yang kita lalui...
Mentari bersinar terik, sudah lewat tengah hari ketika aku baru melangkah keluar dari perpustakaan sekolah. Sekolahku gedung dua lantai cukup besar bernuansa putih gading bergaya Belanda yang telah dirombak di sana sini hingga hanya menyisakan 50% bentuk asli. Terdapat tiang bendera mengapit bendera Merah Putih yang berkibar diterpa angin di sebuah lapangan cukup besar yang biasa digunakan untuk upacara terletak didepan gedung, serta beberapa pohon besar tumbuh di depan dekat gerbang yang salah satunya berdiri dibalik pos satpam. Kulewati koridor sekolah yang telah sepi terus melangkah menuju gerbang depan sekolah. Tampak masih ada beberapa murid berdiri di sisi jalan, berpanas-panas menanti angkot atau kendaraan jemputan lain. Aku berdiri tak jauh dari dua siswa, tak lama sebuah angkot biru datang mendekat.
Kumasuki angkot tersebut, duduk di depan yang kebetulan kosong bersebelahan dengan sang sopir. Tak lama, deru pelan mesin angkot menyibak jalanan yang tak begitu ramai. Deru yang kemudian menghilang tertiup angin lalu. Angin yang berhembus melalui celah jendela pintu samping yang ku biarkan terbuka, meniup pergi panas mentari yang seakan mengikuti. Aku menoleh, menatap pergantian dibalik jendela. Kelebat berbagai bentuk dan rupa seperti bayangan yang berlari, namun tak pernah dapat mencapai garis finis, selalu menghilang dalam sepersekian waktu.
Angkot yang ku naiki berbelok disebuah persimpangan, terus melaju mengikuti jalur kehitaman dengan garis putih melintang. Tak lama kemudian, lajunya memelan dan berhenti berhadapan dengan deret bangunan pertokoan. Aku menuruninya, melanjutkan langkah dibawah pancaran mentari. Aku menoleh, merasakan terik mentari telah berkurang, berganti pada hangat dalam jingga.
Aku menyusuri jalan setapak kecil, berhenti sesaat di tangga teratas teras depan, beberapa saat kemudian melangkah memasuki rumah yang tampak sepi. Melintasi ruang tamu menuju pintu di sisi kiri dalamnya. Rrr... cahaya jingga mentari menyeruak melalui kain jendela yang kutarik, menumpahkan terang pada kamar temaram dibalik pintu. Aku berbalik, meletakkan ranselku di samping tempat tidur berdekatan dengan sebuah meja kecil. Ku hempaskan tubuhku di kasur yang masih rapi, sedikit lelah menghampiriku. Aku memejamkan mata, namun tak lama kembali membukanya. Aku pun duduk dan meraih gitar yang tersandar di dinding kanan samping tempat tidur dekat meja panjang dengan tumpukan berbagai buku. Perlahan nada-nada mengalun dari gesekan senar dan ujung jemariku. Mengalir, mengudara...
--