"Cepetan antar gue!" ucap Hanin. Hanan pun tersenyum, lalu membukakan pintu mobil untuk Hanin, setelah itu barulah ia juga naik dan mulai mengendarai mobilnya menuju rumah Hanin.
Tanpa mereka sadari bahwasanya sedari tadi Rano dan Mira memperhatikan mereka dari balkon kamar, ingin melihat seperti apa jika mereka berdua.
"Masalah apa ya Pa antara Hanan sama Hanin?" tanya Mira.
"Biar ajalah Ma, biasa anak muda," jawab Rano.
"Anak kamu tu nakal banget, pasti dia ngomong sesuatu yang buat Hanin terpaksa turun, gojeknya aja tadi kayak gak enakan. Keliatan banget kalau mereka bertengkar," ujar Mira.
"Iya kayaknya. Udah biar aja, selama itu masih bisa mereka tangani sendiri nggak usah khawatir
"Mama takut banget Hanan ngerusak anak perempuan orang," ucap Mira yang terus menatap mobil Hanan yang sudah keluar area rumah mereka.
Hujan turun, membuat suasana menjadi dingin. Kaca jendela mobil yang tadinya terbuka untuk menikmati angin terpaksa Hanin tutup.
"Suasananya ganas," ucap Hanan menyanyikan sebuh lirik lagu. Hanin meliriknya sekilas dengan mata tajam.
"Lo marah sama gue Nin?" tanya Hanan.
Hanin yang tadinya ingin sekali tetap diam tenang sepertinya tidak bisa. Keluarnya ucapan dari mulut lelaki itu membuat otaknya mendidih.
"Lo tu kenapa sih Nan harus ngomong gitu ke bapak tadi?!" tanya Hanin dengan membentak.
"Ngomong apa emang?" tanya Hanan sok tidak tahu.
"Kalau lo emang mau antar gue nggak perlu curiga sama orang, bahkan orang tua lagi, hargain dong perasaan bapak tadi. Lo nggak liat apa dia jadi nggak enakan?!" tanya Hanin.
"Lo sih nggak mau ikut gue aja," jawabnya santai.
"Emang, gue nggak mau terlibat apa-apa sama lo lagi, walaupun cuma nganter! Tapi karna kasar sama bapak itu bahkan curigai dia, gue jadi merasa bersalah," terang Hanin. "Nggak enak tau Nan dicurigai gitu seolah penjahat, padahal dia udah bilang bakal jagain gue."
"Gue nggak percaya Hanin, ini tu udah malam. Berdua di atas motor, kalau dia nggak mau bawa lo ke rumah malah ke tempat sepi gimana?"
"Emang lo percaya sama diri lo sendiri? Bahkan kita sekarang lebih bahaya, di dalam mobil, tertutup dan berdua. Lo jangan su'udzon gitu dong," tegas Hanan.
"Gue percaya sama diri gue sendiri kok," ucap Hanan, ia sama sekali tidak memandang Hanin.
"Terus yang terjadi sama kita itu apa?! Dia tu udah tua, dan kita sama-sama muda, itu yang jauh lebih dikhawatirin."
Hanan diam. Ia tidak ingin mengatakan apapun saat ini. Enggan berdebat, ia takut malah kasar dan membentak gadis itu. Tadi saja saat ia membentak Hanin, ia sudah merasa tidak enak mendengar jawaban Hanin yang memelankan suaranya.
Melihat lelaki itu yang seakan cuek membuat Hanin pun juga memilih diam.
"Gue tu nggak suka ditolak, kalau gue tawarin sesuatu yang baik apa salahnya sih nerima?" Hanan membuka suara, tidak tahan jika tidak berdebat.
"Nggak perlu juga harus curigain orang tua, pasti dia sakit hati disu'udzonin gitu," jawab Hanin.
"Emangnya lo mau waktu gue tawarin tadi, gue paksa juga. Lo tetep nggak mau."
Perdebatan kembali terjadi antara mereka.
"Apa salahnya sih gue pulang sama bapak itu?" tanya Hanin sembari menatapnya.
"Gue rasa lebih bagus naik mobil deh Nin, bukannya pake motor malah nempel, kan?" tanya Hanan.
"Kalau untuk itu oke, tapi kan nggak perlu juga su'udzon! Sakit hati tau! Udah tua dibilang gitu, dia aja berusaha untuk ngeyakinin lo," kesal Hanan.
"Makanya lo dengerin gue! Nggak ada salahnya juga, kan?" tanya Hanan penuh ketegasan.