Lelaki yang memakai jaket kulit, celana jeans, tak luput topi juga kaca mata, tengah duduk santai di dalam mobil. Kaca mobil ia turunkan. Asap rokok menggebu ke udara.
Gaya yang seperti itu tidak membuatnya norak tapi malah terlihat keren. Ia adalah Yudha, tengah menunggu Hanin keluar dari sekolahnya.
Waktu pulang sudah sejak 15 menit tadi, tapi Hanin masih belum keluar.
Hingga bukan Hanin yang ia lihat, melainkan Hanan yang juga datang kesana.
"Gila, ngapain tu anak. Pasti nemuin Hanin," gumam Yudha. Saat ia hendak menaikkan kaca, tiba-tiba mata Hanan melihat Yudha.
Yudha pasrah lalu tersenyum kecut ke arahnya. Hanan menatapnya datar lalu turun dari mobilnya dan menghampiri Yudha. Yudha pun terpaksa turun.
"Ngapain lo kesini?" tanya Hanan.
"Lo juga ngapain?" tanya Yudha balik. Beberapa orang memperhatikan mereka.
"Gue yang nanya dulu!" ucap Hanan.
"Ya apa salahnya lo jawab duluan," jawab Yudha.
"Yaudah kalau nggak mau ngasih tau."
"Oke."
Mereka sama-sama mempertahan keegoisan masing-masing sembari menatap ke depan, menunggu Hanin muncul. Tidak ada pembicaraan di antara mereka, hanya ada beberapa wanita yang menegur dan menyapa mereka.
Hanan masih kesal pada Yudha karena sudah mengatakan segalanya di depan banyak orang. Yudha juga kesal karena Hanan tidak mau memaafkannya setelah berusaha minta maaf. Kini, mereka sedang mempertahan gengsi masing-masing, terlihat cuek dan tidak akrab.
Di sini lain, Hanin yang baru saja keluar bersama tiga sahabatnya dan sudah dapat melihat adanya Hanan dan Yudha di sana.
Hanin memicingkan mata, ia rasa Yudha akan menemuinya saat ini.
"Hanan mau nemuin lo kayaknya Nin," ucap Asti.
"Ngga, Yudha."
"Lho?"
"Udah diem," ucap Hanin.
Hanin berjalan beriringan dengan Asti, ia berusaha tidak memandang kedua lelaki itu. Namun, Hanan dan Yudha sudah duluan melihatnya.
Begitu kaki Hanin menginjak luar area sekolah kedua pemuda itu langsung menghadangnya.
"Nin, gue mau ngomong," ucap keduanya kompak.
Hanin berdecak kesal. Ketiga temannya hanya melirik Hanin.
"Jangan di sini, agak kesana aja," jawab Hanin. Hanan melirik tajam Yudha, sedangkan Yudha tetap santai. Mereka mengikuti langkah Hanin, tidak jauh dan masih di dekat halte.
"Mau ngomong apa cepetan," ujar Hanin.
"Nggak bisa di sini, ke caffe atau kemana gitu," ajak Yudha.
"Lo apa-apaan sih, gue yang mau ngomong sama Hanin!" tegas Hanan sembari menarik Hanin.
Hanin tentu saja kaget.
"Gue duluan kok yang mau ngomong. Lagian lo mau ngomong apa?" Yudha ikut menarik Hanin.
"Eh-eh apaan sih!" ucap Hanin kesal.
"Gue yang mau ngomong sama dia!" Hanan kembali menariknya.
"Gue yang duluan datang, jadi gue mau ngomong duluan!" tegas Yudha kembali menarik Hanin. Semua mata tertuju pada mereka.
"Iiih lepasin!" berontak Hanin. "Kalian mau ngomong apa sih? Nggak bisa barengan?" tanya Hanin.
"Nggak!" jawab mereka dengan kompak lagi.
"Yaudah gue mau ngomong sama orang yang sekiranya itu cukup penting saat ini, bukan berarti ada yang nggak penting," jelas Hanin. "Lo mau ngomong apa Nan?"
"Masalah kita."
"Kalau lo?"
"Tentang Elisa, eh maksudnya tante Caca lo," jawab Yudha.
"Apaan sih nggak penting banget bahasan lo!" ucap Hanan santai.
"Nin, ini tentang tante lo dan masalah hati," ujar Yudha dengan serius.
"Yaelah masalah hati segala. Cinta-cintaan, bucin!" ejek Hanan.
"Lo apaan sih Nan, ya terserah gue dong," kata Yudha yang tidak terima.
"Udahlah Nin, nggak penting berurusan sama orang yang mau bahas tentang cinta," kata Hanan sembari menarik Hanin.