Hanin meneteskan air mata sembari memperhatikan langit malam yang begitu indah kali ini.
Menangis seperti ini bukan suatu hal yang jarang ia lakukan, tapi terlampau sering. Beberapa malam ia rindu kedua orang tuanya dan rindu neneknya. Kemudian menangis sesenggukan sendirian.
Rasa sakit karena ditinggalkan mamanya untuk selama-lamanya, memang teramat sakit. Tapi Hanin lebih merasakan sakit karena papanya yang masih ada tapi tak kunjung menemuinya, atau menelpon sekedar bertanya kabar.
Hanin masih ingat ucapan papanya terakhir kali.
"Hanin jangan khawatir, papa sebulan aja kesana. Kamu sama nenek baik-baik ya, di sini ada Tante Caca juga, jadi ada temen. Papa pasti balik lagi, nanti kita tinggal di rumah kita lagi, nggak apa walaupun berdua, yang penting sama-sama," ujar papanya dengan lembut, sembari mengelus pipi Hanin yang masih begitu lucu.
Hanin mengangguk, kemudian papanya mencium pipi dan kening gadis itu berkali-kali. Hanin memeluk papanya yang saat itu mereka di atas kasur, dengan selimut yang sudah membalut mereka berdua karena Hanin sudah hendak tidur dan minta dinyanyikan lagu seperti kebiasaan mamanya dulu. Walau suaranya tidak sebagus istrinya, tapi demi Hanin ia akan tetap bernyanyi.
Kini, setelah 11 tahun, papanya tidak kembali lagi. Mendengar suaranya saja Hanin tidak pernah. Setiap neneknya menelpon papanya, ia selalu tidak di rumah, dan saat Hanin minta menelpon, selalu saja tidak bisa.
Lebih menyakitkan lagi, saat Caca mengatakan bahwa papanya sudah menikah lagi. Bukan main hancur perasaannya saat itu, janji dari seorang ayah kepada anaknya tidak ditepati. Yang dinantikan datang untuk hidup seperti biasa di rumah yang sebenarnya tak kunjung tiba.
Hanin tidak menjadikan itu masalah, tapi kenapa ia harus tidak pulang. Hanin rela hidup bersama ibu tiri, Hanin tidak takut jika ibu tirinya mungkin jahat, yang penting ia bersama papanya. Hanya Andre satu-satunya orang yang ia ketahui begitu menyayanginya, kasih sayang Andre tidak ada bedanya dengan kasih sayang mamanya.
Andai takdir menggariskan kehidupannya seperti orang lain, mungkin saat ini ia akan tetap tinggal di desa, sederhana, dan memiliki adik.
Hanan adalah orang yang membuat Hanin selalu iri dengan kelengkapan keluarganya. Ia selalu berandai keluarganya seperti Hanan, kedua orang tuanya harmonis, dan begitu peduli kepada anak-anaknya.
Hanin sudah dapat membayangkan seperti itulah kedua orang tuanya, andai takdir tidak memisahkan mereka dengan kematian mamanya.
"Hanin!" panggilan Caca memaksa Hanin menghapus air matanya. Tanpa ia sadari Caca sudah masuk ke kamarnya, dan kini menghampirinya.
"Kenapa nangis?" tanya Caca dengan ketus.
"Nggak papa, kangen aja sama orang yang udah ninggalin kita untuk selama-lamanya," jawab Hanin. Caca berdiri di samping Hanin sembari menatapnya.
Caca terdiam. Bukan hanya Hanin yang selalu melakukan hal seperti itu, ia juga sering.
Bedanya, jika ingin menangis ia akan menutup pintu kamar mandi. Menghidupkan shower lalu duduk sembari memeluk lutut di bawah guyuran air. Saat itu adalah waktu yang paling menenangkan buatnya.
"Kamu nggak mau punya pacar Hanin?" tanya Caca tiba-tiba.
"Kenapa?" tanya Hanin sembari menoleh padanya.
"Liat kehidupan kita, nggak ada yang sayang, nggak ada yang peduli. Setidaknya kalau punya pacar, ada yang sayang sama kita dan memperlakukan kita dengan baik," jawab Caca.
Hanin hanya diam.
"Apa yang mau dimenangin dari kita kalau nggak punya pacar. Apa bisa kamu bilang dengan bangga bahwa kamu punya keluarga yang sayang sama kamu?" tanya Caca. Hanin menghela nafas pelan.
"Suatu saat Tante juga bakalan ninggalin kamu. Kita nggak tau situasinya bakal seperti apa, mungkin kamu yang harus keluar dari rumah ini."
Kalimat terakhir Caca membuat Hanin menatapnya tak percaya.
"Jujur aja ya Hanin, seandainya Tante menikah, dan tinggal di rumah ini, kamu harus pergi dari rumah ini. Tante nggak mau kita tinggal serumah, hati manusia nggak ada yang tau, Tante paham kehidupan jaman sekarang, apapun bisa terjadi. Kamu masih muda dan kamu cantik, Tante nggak mau kita tinggal serumah," jelas Caca.
"Emang Tante udah siap untuk menikah dan merencanakan waktunya?" tanya Hanin tanpa menatapnya.
"Tante cuma butuh orang yang mencintai Tante, dan Tante cintai. Cuma itu kesiapan yang Tante butuhin. Tante udah capek, hidup kayak gini, bertahun-tahun tanpa kasih sayang siapa pun, nggak papa terlambat menikah, asal jangan sampai kehidupan yang seperti ini sampai selama-lamanya dirasain," jawab Caca
Tanpa sadar Caca meneteskan air matanya.