Jauh dari rumah bukan perkara sulit untuknya. Mengejar mimpi dan cita-cita? Bukan. Bukan itu tujuan utamanya. Ia hanya mengikuti kata hati yang mengarahkannya pada sebuah kesempatan yang datang kala itu.
Ia tidak memiliki prinsip hidup kaku yang terlalu mendominasi alur kehidupannya. Mengikuti kata hati, itu yang selalu dilakukannya selama lebih dari tiga puluh tahun ia hidup di dunia. Bukan ia tak menggunakan logika, hanya saja, suara hatinya terdengar lebih kuat saat ia membutuhkan bantuan dalam mengambil keputusan besar dalam hidupnya.
Beruntung, nasibnya memang baik. Kata hati itu seringnya membuat dia merasa tidak menyesal telah mengikutinya. Segala hal yang dijalaninya kini, berjalan dengan amat sangat baik berkat insting kuatnya yang tidak pernah—ralat, belum pernah keliru.
Beberapa tahun hidup dalam ketenangan dalam menjalani pekerjaan, datanglah saatnya ketika sebuah perkara hampir saja merenggut tahta yang sudah sejak lama didudukinya.
“Kamu harus bisa memecahkan masalah ini tanpa membuat kerugian pada perusahaan!”
Nada dingin dengan aksen Australian English yang kental dari atasannya tersebut menggema di seantero ruangan. Sebuah ultimatum yang membuat dahinya berkeringat. Rasa-rasanya, belum pernah dia merasa setegang ini ketika menghadap bosnya saat di Singapura dulu.
“Tapi, Sir, kasus ini sudah berulang kali terjadi dan di sisi kita tidak pernah terjadi masalah. Sepertinya saya harus pergi ke tempat mereka untuk memeriksa barangkali saja kesalahan terletak di sana.”
Bosnya tampak berpikir. Kedua alis putihnya saling bertaut dengan mata yang menyipit.
“Ya, kamu pergilah ke sana! Saya beri kamu waktu satu minggu untuk menyelesaikan kasus ini.”