Kala Cinta Membawamu Pulang

Belinda Marchely
Chapter #2

Awal Mula

Jakarta, Indonesia

“Menyebalkan!”

Suara perempuan itu memenuhi seluruh ruangan departemen Quality, bahkan tembus hingga departemen Business Development yang berada di sebelahnya.

“Dosa apa coba gue, bisa berurusan sama orang macam ini!”

Percampuran antara marah, kesal, dan dongkol berakumulasi menjadi satu. Kepalanya serasa ingin meledak karena emosi yang telah memuncak. Seluruh staf Quality yang berada di ruangan itu membisu, tidak berani membuat pergerakan yang mencolok ketika sang atasan sedang dalam kondisi siaga satu begini.

Gianamora Sinaga. Perempuan berperawakan semampai dengan tinggi sekitar 167 sentimeter, tubuh tidak terlalu ramping—namun sangat pas untuknya, wajah oval sempurna, dan mata almond yang membuat tatapannya selalu memikat siapa saja yang berhadapan dengannya.

Ia merupakan seorang manajer bagian kualitas pada sebuah perusahaan pemasok bahan-bahan kemasan terbesar di kotanya. Pekerjaan sehari-harinya tidak lepas dari kegiatan pemeriksaan barang, menindaklanjuti keluhan dari pelanggan dengan meneruskannya kepada pemasok.

Pagi ini, ia baru saja mendapat balasan email dari pabrik pemasok bahan baku yang ditautkan oleh bagian pembelian, laporannya disanggah. Hal itu tentu membuatnya geram. Sudah berulang kali kasus seperti ini terjadi, tetapi baru dalam kurun waktu setengah tahun ini saja. Sebelumnya mereka tidak menemukan masalah dengan bahan baku dari pemasok ini.

Perempuan itu membaca kembali laporan dari anak buahnya yang menyatakan bahwa ada material plastik yang tidak dapat diproses oleh mesin, sehingga membuat operator kelimpungan dan menghabiskan banyak waktu untuk menyelesaikan pengerjaan material tersebut. Tentu saja bila dibiarkan semakin lama akan menimbulkan kerugian bagi perusahaan, baik dari segi waktu, biaya operasional, biaya lembur tenaga kerja, dan biaya-biaya lainnya.

Pada saat seperti inilah kehadiran Gia—sebagaimana biasanya ia dipanggil—dibutuhkan untuk menguraikan permasalahan yang ada. Berkutat dengan segala macam analisis dan pemecahan masalahnya, meminta pertanggungjawaban dari pemasok untuk kemudian mempertanggungjawabkan hasil temuan tersebut pada pelanggan.

“Kenapa pada bengong?” tanya Kristo, Assistant Quality Manager, ketika melihat para stafnya bekerja dalam hening. Lelaki itu baru saja kembali ke meja kerjanya setelah hampir setengah jam lebih berada di toilet.

Rani, salah seorang staf buka suara. “Bu Gia, Pak.”

Hanya sepenggal kalimat singkat, tapi Kristo sudah mengerti situasi seperti apa yang sedang terjadi di sini. Ia kemudian masuk ke dalam ruang kerja sang manajer.

“Santai, Bu, santai!” tegur Kristo. “Lo nggak lihat, tuh, di luar? Anak-anak pada gemetaran dengar teriakan lo.”

Gia melirik sekilas pada Kristo, lalu kembali menatap laporan analisis kerusakan barang di hadapannya dengan tatapan membara. Ia masih tidak terima laporannya ditolak oleh pihak pabrik bahan baku plastik yang menjadi pemasok utama mereka itu. Pemasok menginginkan detail penyetelan mesin serta video proses produksi untuk dilampirkan, yang mana Gia tidak terpikir bahwa pengaturan mesin perlu diperlihatkan kepada mereka.

“Gue nggak habis pikir gitu, bisa-bisanya dia nolak laporan yang kita kasih. Padahal ini udah selengkap dan sejelas yang dia minta!” cerocos Gia. “Terus sekarang, pakai acara minta setelan mesin segala, lagi! Dia kira kita punya waktu buat bikin video-video gitu!”

Perempuan itu sesekali berdecak sembari memainkan tetikusnya dan menyoroti beberapa poin pada laporan tersebut dengan penanda warna.

“Mungkin dia kesal karena lo kebanyakan komplain,” tukas Kristo. Lelaki itu kemudian menggiring kursinya dengan kaki, mendekat pada meja kerja Gia dan mencomot bolen pisang di meja atasannya tersebut.

“Kalo gue nggak komplain, gue nggak kerja namanya!” sanggah Gia, “Itu, kan, memang bagian dari pekerjaan kita di Quality, kalo lo lupa ….”

Kristo tertegun mendengarkan sindiran Gia. Tiba-tiba saja roti legit berisi pisang yang sudah ia kunyah terasa sulit untuk turun ke tenggorokannya. Baru setelah berhasil menelan penganan kegemaran atasannya itu, ia berusaha membujuk Gia agar tidak mengingat-ingat kesalahannya tempo hari.

“Ayolah, Gi, masih dibahas aja ….”

Gia menggerutu, “Gue cuma mau mengingatkan, ketelitian adalah kunci utama pekerjaan kita. Kalo ada yang salah, kita harus lapor ke pihak yang bersangkutan. Gue nggak tahu apakah saat itu lo memang lalai atau sengaja nggak mau lapor karena malas urusannya jadi panjang. Yang jelas, ada tanda tangan lo di berita acara Quality.”

Lihat selengkapnya