Sydney, Australia
Seorang lelaki dengan bola mata berwarna cokelat gelap tengah fokus mengawasi jalannya proses produksi biji plastik. Sesekali ia bercakap-cakap dengan manajer produksi dan manajer kualitas pada pabrik tempatnya bekerja.
Sudah beberapa kali dalam kurun waktu setengah tahun ini, perusahaan mereka mendapatkan keluhan dari pelanggan di Indonesia mengenai kualitas plastik yang mereka ekspor. Tentu saja hal itu akan berpengaruh pada performa kerjanya sebagai Technical Sales & Marketing untuk area Indonesia.
Lelaki itu memperhatikan dengan saksama setiap detail dari proses produksi yang berjalan, mulai dari pengaturan mesin, penanganan bahan baku, serta hasil tes untuk bahan baku yang mereka gunakan.
Harry, sang manajer produksi berseloroh pada si lelaki bermata cokelat gelap. “Apa kau sebegitu tidak percaya padaku, sehingga harus sampai turun tangan mengawasi produksi begini?”
Si lelaki bermata cokelat gelap hanya mengangkat sebelah sudut bibirnya sebagai tanggapan atas apa yang diucapkan lelaki berkumis tipis tadi.
“Ya, Harry …” Kali ini si manajer kualitas yang berbicara. “Mungkin si Gennad ini ingin beralih posisi menjadi Quality Manager,” ucap lelaki berambut cepak itu. Steven namanya.
Gennad, si lelaki bermata cokelat gelap itu mulai melirik pada dua rekannya yang saling menyindir mengenai posisi pekerjaannya.
“Jadi, kalian sudah siap jika aku harus mengambil alih posisi kalian?” ujarnya datar. Keduanya saling mengedikkan bahu seraya menggelengkan kepala. “Aku hanya ingin memastikan bahwa memang tidak terjadi kesalahan di tempat kita. Jika semuanya aman, berarti masalah terletak pada mereka,” jelasnya kemudian.
“Lalu, kalau memang tidak terjadi kesalahan di sini, apa yang akan kau lakukan?” tanya Harry lagi.
“Mr. Collin sudah memberiku izin untuk pergi ke sana,” ucap Gennad yang membuat wajah kedua rekannya, Harry dan Steven semringah.
“Wah, kau bisa sekalian pulang kampung, kalau begitu!” seru keduanya secara bersamaan.
Mata Gennad menerawang. Ia sendiri bingung, apakah harus pulang ke rumah orang tuanya atau tidak. Jika ia pulang, ia harus siap mendengar rengekan ibunya yang memintanya untuk segera menikah. Tidak hanya soal menikah, tetapi juga harus mendapatkan pendamping hidup yang berasal dari latar belakang yang sama dengan keluarga mereka.
Latar belakang seperti apakah itu?
Kaya? Tidak. Orang tuanya bukanlah tipe orang tua materialistis.
Berpendidikan tinggi? Walaupun itu lebih diutamakan, tetapi jika perempuan itu hanya lulusan sekolah menengah atas pun ibunya masih dapat menerima.
Cantik, pandai memasak, pandai mengurus rumah? Itu juga penting, tapi bukan soal itu saja.
Lantas, apa?
Lelaki itu menghela napas sejenak, lalu menjawab, “Kalau aku pulang ke rumah, aku takut aku tidak akan bisa kembali lagi ke sini karena langsung dinikahkan dengan perempuan Batak oleh ibuku.”