Jakarta, Indonesia
Gia sedang berdebat dengan Kristo, saat tiba-tiba ponselnya berdering. Ia melirik layar ponselnya. Lalu karena yang dilihatnya adalah nomor tidak dikenal, perempuan itu mengabaikannya. Namun, sepertinya orang di seberang sana tidak mau menyerah. Ponselnya terus berdering, hingga Gia dengan sangat terpaksa mengangkatnya.
“Halo,” sapanya. Kemudian dalam beberapa detik setelahnya, Gia berteriak, “Saya enggak berminat, Mas!”
Seluruh staf di ruangan Quality sontak memusatkan pandangan pada atasan mereka yang sedang duduk di meja Kristo. Perempuan itu sudah mematikan panggilan dan meletakkan ponselnya dengan kasar di atas meja.
“Sampai mana kita tadi?” tanyanya pada Kristo.
“Jadi, gini—”
Tiba-tiba, intro dari lagu milik Raisa berjudul Love You Longer yang menjadi nada dering ponsel Gia kembali menggema, membuat perempuan itu menutup mata menahan geram. Ia menghela napas panjang sebelum mengangkat kembali panggilan tersebut.
Tanpa fokus pada nomor pemanggil yang tertera di layar ponselnya, Gia menggeser ikon telepon di dalam lingkaran kecil mengikuti panah berwarna hijau ke arah kanan.
“Saya sudah bilang, saya tidak tertarik, Mas! Tolong jangan hubungi saya lagi!”
Suara ketus Gia membuat seluruh anak buahnya bergidik ngeri. Namun, yang terjadi selanjutnya malah membuat mereka mencuri-curi pandang ke arah Gia yang kini sedang tersenyum kikuk.
“Ah, maafkan saya, Pak. Saya tidak melihat kalau nomor Bapak yang menghubungi saya.”
Perempuan itu berdeham, lalu pada menit-menit selanjutnya dia hanya mendengarkan suara orang di seberang dan sesekali mengangguk sambil tersenyum menahan malu, walaupun orang itu tidak dapat melihat ekspresi wajahnya saat ini.
“Hah, supplier?” Gia mendengarkan dengan saksama. “Besok, Pak?!” tanyanya dengan suara meninggi.
Tidak hanya Gia yang tersentak mendengar penjelasan dari seseorang di seberang sana, para staf Quality pun berjengit mendengar suara melengking atasan mereka itu.
“Siapa yang telepon? Nggak usah teriak-teriak …” bisik Kristo pelan, sangat pelan, tetapi gerak bibirnya sangat jelas terbaca oleh Gia.
Gia tidak menjawab, hanya bermain dengan isyarat mata serta gerakan bibir yang mengerucut memberi perintah agar Kristo diam. Lelaki itu pun tidak bereaksi lagi, hanya diam dan menunggu sang manajer selesai dengan urusannya.
Begitu panggilan diakhiri, Kristo kembali mendekatkan tubuhnya pada Gia dan bertanya hal yang tadi telah ia tanyakan, tetapi belum dijawab oleh atasannya itu.
“Lo berisik banget, sampai kayak shock gitu. Siapa yang telepon?” tanya Kristo.
Gia berdecak. "Kenapa gue bisa lupa, ya, kalo dia mau datang,” gumamnya pada diri sendiri. “Memangnya dia ada bilang di email, ya? Email kapan, lagi? Kok, gue jadi beloon gini, sih?!”
Masih meracau pada diri sendiri, Gia sibuk menggulir layar ponsel pintarnya. Ia mencari-cari surel berisi pemberitahuan mengenai kunjungan kerja dari pihak pabrik pemasok biji plastik yang mereka impor.
Kristo tampak kesal karena diabaikan. Ia berdeham, lalu menegur sang atasan. “Ibu Gianamora Sinaga, tolong kalo orang bertanya itu dijawab, ya!”
Sedikit tersentak, Gia menjawab dengan malas. “Hah, itu … si Pak Arthur yang telepon. Dia bilang besok si supplier itu bakal datang.”
Kristo menaikkan sebelah alisnya. “Supplier yang mana? Kenapa lo mesti kaget gitu, coba?” tanya Kristo lagi.
“Siapa lagi? Pemenang award sebagai The Most Annoying Supplier tahun ini.”