Kingsford Smith Airport, Sydney, Australia
Pukul 11.45 Waktu Sydney
Gennad telah duduk nyaman di dalam pesawat yang akan membawanya terbang ke Indonesia. Lelaki itu memandang ke arah luar jendela. Tidak ada hal berarti yang berniat dilakukannya, lantaran ponsel telah dinonaktifkan. Mungkin nanti jika mulai bosan, ia akan membaca buku yang dibawanya, tapi belum untuk sekarang.
Pikirannya melayang, membayangkan banyak hal. Mulai dari rencana-rencana yang telah disusunnya ketika bertemu dengan rekan bisnis di negara yang merupakan tanah kelahirannya itu, hingga tiba-tiba pikirannya seperti terbentur oleh ingatan akan perkataan rekan-rekannya di pabrik.
“Kau tidak bisa memilih takdirmu, Ge. Kalau takdir membawamu pulang, kau bisa apa?”
Gennad merasa jantungnya berdegup kencang seketika.
Haish! Kenapa aku harus memikirkan kata-kata si Harry.
Lelaki itu merutuk dalam hati. Ia berusaha menghalau pikiran yang tidak jelas menurutnya itu. Padahal, siapa yang tahu bagaimana takdir bekerja? Jika semesta menghendaki, bukan tidak mungkin Gennad akan bertemu dengan seseorang yang akan menjadi pemilik hatinya di kampung halamannya sendiri.
Gennad akhirnya mengambil kamera dan mengabadikan gambar segumpal awan yang sangat indah. Entahlah, ia bingung sendiri harus melakukan apa atau bahkan memikirkan apa lagi. Hatinya cukup senang bisa keluar dari area pabrik sejenak, bisa melakukan perjalanan dinas yang mana kali ini cukup jauh hingga harus meninggalkan negara tempatnya tinggal saat ini. Lebih-lebih, di balik itu semua, ada dorongan dari dalam hatinya yang membuat ia memberanikan diri untuk melakukan perjalanan dinas ini. Seperti yang biasanya terjadi, ia akan menuruti kata hatinya.
Puas dengan beberapa hasil bidikan kameranya, lelaki itu memilih untuk memejamkan mata. Penerbangan ini akan memakan waktu sekitar tujuh jam lebih untuk tiba di Indonesia. Ia akan memanfaatkan waktu untuk beristirahat saja.
***
Jakarta, Indonesia
Pukul 11.45 Waktu Indonesia bagian Barat
Pesawat dengan rute terbang dari Sydney menuju Jakarta itu telah mendarat dengan mulus di Bandar Udara Inernasional Soekarno-Hatta. Seluruh penumpang bersiap-siap untuk turun dari si burung besi. Gennad sendiri masih terlihat santai di kursi penumpang. Karena ia tidak membawa banyak barang—hanya beberapa potong baju dan celana serta laptop, sehingga ia hanya membawa sebuah ransel besar yang diletakkan di bagasi atas. Tentu ia tidak harus buru-buru untuk mengantri bagasi.
Setelah penumpang lain lebih dulu keluar dan keadaan cukup tenang, barulah Gennad bersiap untuk mengambil ranselnya dan keluar dari badan pesawat.
Lelaki itu baru menyalakan ponselnya ketika telah berada di garbarata. Berniat untuk menghubungi Gia, ia justru lebih dulu menerima pesan dari perempuan itu yang memberitahukan bahwa dirinya tidak dapat menjemput Gennad di bandara. Sebagai gantinya, Kristo sang asisten manajerlah yang akan menjemputnya.
Gennad menyadari ada setitik rasa kecewa karena bukan Gia orang yang pertama kali ia temui, tapi buru-buru ia menghapus perasaan aneh itu. Kenapa pula perasaan semacam itu bisa muncul pada saat-saat begini.
Selesai mengurus segala kepentingan di bandara, Gennad berjalan menuju pintu kedatangan internasional. Dari balik pintu kaca, ia dapat melihat sosok lelaki yang mengangkat tinggi sebuah tablet dengan layar putih bertuliskan namanya. Ia segera menghampiri lelaki tersebut yang diyakininya merupakan perwakilan perusahaan pelanggan. Dan, ya, lelaki itu adalah Kristo.
“Hi, Mr. Gennady. I am Kristo, Ms. Gia’s assistant assigned to pick you up,” sapa Kristo ketika Gennad telah berdiri di hadapannya.
“Hi, Kristo.” Gennad balas menyapa. “Have you been waiting long?” tanyanya pada lelaki itu.
“No problem, Sir,” ucap Kristo sembari mengangkat tangannya mempersilakan Gennad untuk mengikuti langkahnya menuju parkiran.
Gennad terkekeh. Ia merasa sungkan dengan sapaan formal dari Kristo. “You can call me Gennad. Just Gennad,” ucapnya dengan diiringi senyuman ramah.
“Won’t it be rude?” tanya Kristo sambil tersenyum sungkan.
“We aren’t in the office. I’m okay with that,” sanggah Gennad.
Kedua lelaki itu akhirnya sampai di area parkir khusus mobil. Setelah memasukkan ranselnya ke jok bagian tengah, Gennad duduk di jok penumpang depan.
Tidak tampak kecanggungan yang berarti antara mereka. Keduanya terlibat percakapan santai sambil sesekali bertukar cerita mengenai keadaan lingkungan kerja masing-masing.
“So, what’s Gia doing?” tanya Gennad tiba-tiba.
Dahi Kristo sedikit mengernyit mendengar pertanyaan itu. Sudut bibirnya sudah hampir tertarik ke atas, tapi ditahannya.
Kristo berdeham kecil, lalu menjelaskan kenapa akhirnya ia sendiri yang harus menjemput Gennad di bandara.
“So many complaints lately and she had to lead an impromptu meeting with customer this morning,” jelas Kristo.
Gennad tidak menjawab. Lelaki itu hanya mengguman pendek yang Kristo artikan sebagai jawaban.
Lalu-lalang kendaraan yang cukup padat pada pertengahan hari seperti siang ini membuat Kristo memusatkan perhatian pada kemudinya. Masalahnya, saat ini ia tidak sedang membawa dirinya sendiri, ada nyawa orang lain yang menjadi tanggung jawabnya.
Setelah menempuh sekitar satu setengah jam perjalanan, mobil yang dikendarai Kristo memasuki kawasan gedung yang bukan hanya perkantoran saja, melainkan juga ada gudang besar yang lengkap dengan bunyi-bunyian khas dari proses produksi.