Pagi-pagi sekali Gennad telah tiba di kantor Deluxe Pack dengan dijemput supir perusahaan tersebut. Oleh resepsionis, lelaki itu diarahkan menuju ruang pertemuan di mana Prama dan Kristo sudah menunggu di sana, minus Gia.
Perut Gennad seketika bergejolak melihat jejeran kue-kue tradisional Indonesia yang tersusun rapi di atas nampan di sudut meja. Entah berawal sejak kapan, kampung tengahnya mulai beradaptasi dengan jam negara ini. Dan lagi, ia memang tidak sempat sarapan di hotel karena terlalu bersemangat untuk segera tiba di kantor salah satu pelanggan setia perusahaan mereka itu.
Prama langsung mempersilakan Gennad untuk mengambil kue-kue tersebut serta kopi atau teh untuknya. Mereka akan sarapan terlebih dahulu sebelum memulai kegiatan hari ini.
"Apa Gia tidak datang hari ini?" tanya Gennad ketika ia tak juga melihat kehadiran Gia di ruangan itu.
Kristo yang sedang menyesap kopi hitamnya hampir tersedak mendengar pertanyaan sederhana dari Gennad. Entah apa yang membuatnya seakan merasa ada makna yang tersirat dari pertanyaan lelaki itu. Namun, ia tidak ingin menarik kesimpulan terlalu cepat. Apalagi, ini baru pertemuan kedua bagi mereka.
"Belum ada kabar." Prama yang menjawab. "Padahal tidak biasanya Gia datang terlambat," lanjutnya.
Ponsel Kristo berdering singkat, ada pesan yang masuk. Ia membaca pesan tersebut dan mengabarkan informasi yang diterimanya pada Prama dan Gennad.
"Gia akan datang terlambat, ada urusan penting sebentar," ujar Kristo. “Bagaimana kalau kita ke gedung produksi sekarang?” Lelaki itu bertanya karena melihat baik Gennad maupun Prama telah selesai dengan sarapan mereka.
Keduanya mengangguk sembari bangkit berdiri. Kemudian mereka bertiga meninggalkan ruang pertemuan menuju gedung produksi.
***
Gennad sedang berbincang-bincang dengan operator produksi dari Deluxe Pack ketika terdengar langkah kaki yang tergesa mendekat. Bunyi khas yang ditimbulkan tapak sepatu wanita yang menyentuh lantai itu membuat beberapa pasang mata yang sedang bersiap-siap untuk menjalankan proses produksi menatap ke arah sumber suara.
“Maaf, saya terlambat,” ucap Gia pada semua orang yang sedang berkumpul untuk melakukan pengujian material plastik pada salah satu mesin di sana.
Gennad memandangi Gia dari ujung rambut hingga ujung kaki, dahinya sedikit mengernyit, tetapi kemudian ia kembali fokus pada penjelasan dari salah satu operator.
Kristo pun turut memperhatikan penampilan Gia yang terlihat tidak seperti biasanya. Ia segera mendekati Gia dan membisikkan pertanyaan beruntun pada sang atasan. “Kenapa nggak pakai safety shoes, Ibu Gia? Kita lagi di ruang produksi, loh, ini. Terus lagi, itu … ehm … kancing baju lo kenapa gitu?”
Kepala Gia refleks menunduk, memeriksa penampilannya sendiri. Bukan hanya perkara tidak memakai sepatu pengaman saja, tetapi ia juga baru menyadari bahwa kancing paling atas kemejanya sudah tidak berada di tempatnya lagi. Wajahnya memanas. Ia merasa malu. Seharusnya ia memeriksa penampilannya dulu sebelum keluar dari mobil tadi. Namun, tentu saja itu tidak terpikirkan, mengingat ia harus segera menemui tim produksi serta tamu perusahaan mereka yang telah menunggu.
Gennad berdeham sebelum berbicara. “Bagaimana implementasi standar kualitas di perusahaan ini akan berjalan dengan baik jika sekelas Quality Manager saja tidak menaati peraturan yang berlaku?” tanyanya sarkastis. Entah pada siapa, yang jelas Gia merasa tersinggung mendengarnya.
“Maaf, saya terburu-buru sehingga lupa untuk mengganti sepatu saya dengan safety shoes,” ucapnya sopan. Ia sebenarnya sedang menanggapi sindiran Gennad, tetapi matanya tertuju pada Prama. Paling tidak, Gia harus meminta maaf terlebih dahulu pada Prama selaku atasannya.
“Tidak apa-apa, Gia,” jawab Prama, “nanti biar Kristo saja yang mengawasi proses uji materialnya.”
Gia bergeming. Pikirannya masih beterbangan pada kejadian tadi pagi. Ya, kejadian yang menyebabkan ia datang terlambat.
Mengingat itu, ingin rasanya Gia menangis, tetapi hatinya masih cukup kuat untuk tidak menunjukkan kelemahannya di depan orang banyak.
“Gi!” Suara Prama kembali terdengar. Kali ini cukup keras hingga membuat Gia tersentak.
“Ya?” Mata indah milik perempuan itu mengerjap beberapa kali.
“Ayo, kembali ke gedung utama,” ucap Prama seperti mengulang perkataan yang sebelumnya sudah diucapkannya.
Tanpa bersuara, Gia melangkah terlebih dahulu meninggalkan Prama, padahal tadi lelaki itu yang mengajaknya untuk kembali ke gedung utama.
Sikap Gia yang sedikit diam itu tak luput dari perhatian Gennad.
Dia kenapa? Ah, kenapa juga aku harus memikirkannya ….
Tidak ingin fokusnya terpecah, Gennad kembali memperhatikan jalannya proses uji material.
***
Setelah mandi air hangat sepulang dari kantor Deluxe Pack tadi, Gennad merasa tubuhnya jauh lebih rileks. Namun, kini ia merasa bosan berada di kamar hotelnya. Ingin berjalan-jalan, tapi bingung jika harus keluar sendirian. Bukan karena tidak berani. Hanya saja, sudah hampir lima tahun lelaki itu tidak pulang ke Indonesia, ke Jakarta. Tentu telah banyak perubahan yang terjadi di kota ini sejak ditinggalkannya beberapa tahun lalu. Jalan-jalan pun mungkin tak sama lagi.
Tiba-tiba saja, Gennad teringat pada Gia.
Gennad mengambil ponselnya yang tergeletak di atas tempat tidur, membuka daftar kontak dan mencari nama Gia, lalu memilih opsi panggil. Untung saja ia sudah membeli nomor lokal ketika dalam perjalanan kembali ke hotel tadi.
Nada tunggu yang menandakan nomor di seberang aktif telah terdengar, tetapi panggilannya tidak dijawab. Gennad menekan ikon telepon berwarna merah untuk mematikan panggilan, lalu mencoba menghubungi kembali nomor tersebut.
Beberapa detik menunggu, nada tunggu itu berganti dengan sebuah getaran sebelum terdengar suara lembut seorang perempuan di seberang sana.
“Halo,” sapa suara itu.
“Halo, Gia?”
“Ya, siapa ini?”