Kala Cinta Membawamu Pulang

Belinda Marchely
Chapter #7

The Sweet of You

Gia memangku wajahnya dengan sebelah tangan, memandang ke luar jendela. Namun begitu, Gennad tahu bahwa perempuan itu menangis. Ia tidak mengusik, tidak berniat sedikit pun. Ia mengerti bahwa apa yang baru saja dialami Gia pasti membuatnya terpukul. Ia hanya terus fokus pada hamparan jalan di depannya.

Setelah kejadian tadi, lelaki itu bersikeras agar ia saja yang menyetir mobil sampai ke hotel, sengaja ingin memberikan waktu bagi Gia yang hatinya sedang tak karuan. Hening tercipta di antara kedua insan yang masing-masing pikirannya entah sedang berkelana ke mana.

Ketika mobil telah berhenti di depan lobi hotel dan Gennad akan turun, ia melirik sekali lagi pada Gia. Sepertinya perempuan itu tidak sadar bahwa mereka telah sampai.

"Gia ..." Gennad bersuara, mencoba menarik kesadaran Gia, sehingga perempuan berambut panjang itu menoleh. "Sudah sampai," ucapnya.

"Oh, iya." Gia membuka pintu di sisi kirinya, lalu keluar dan menunggu Gennad yang sedang mengitari mobil dari sisi kemudi.

Gennad berhenti di hadapan Gia untuk berpamitan. "Kamu yakin bisa nyetir sampai rumah?" Pertanyaannya dijawab dengan anggukan oleh perempuan itu.

"Saya nggak apa-apa, yang luka kamu," jawab Gia kikuk. "Maaf, ya ..." ucapnya lagi. Sekilas matanya bertemu tatap dengan mata cokelat milik Gennad, tetapi kemudian ia lemparkan tatapan itu pada jemarinya yang bertaut.

"Cuma luka sedikit," sahut lelaki itu. "Saya masuk, ya," pamitnya kemudian.

Gia mengangguk pelan, kemudian melangkah menuju sisi kemudi dan masuk ke dalam mobil tanpa melihat pada Gennad lagi.

Baru beberapa meter mobil bergerak, Gia merasa hatinya tidak tenang. Entah mengapa, ia merasa harus berterima kasih dengan cara yang benar pada Gennad. Bagaimanapun, lelaki itu telah melindunginya tadi. Kalau tidak ada lelaki itu, mungkin wajahnya yang akan babak belur akibat perlakuan kasar Dave.

Ia melirik melalui spion dalam mobil, lelaki bertubuh jangkung itu tidak terlihat lagi. Setelah menimang-nimang beberapa saat, akhirnya Gia memutuskan untuk memarkirkan mobilnya di area parkir hotel.

***

Tidak pernah terpikirkan olehnya akan terlibat dalam kehidupan pribadi perempuan itu, apalagi dengan cara yang seperti ini. Kalau saja bisa memprediksi akan terjadi hal seperti tadi, mungkin Gennad tidak akan berpikir untuk meminta Gia menemaninya keluar dari hotel.

Ia merasakan wajahnya berdenyut nyeri. Sudut bibirnya yang robek terasa perih setiap ia ingin membuka mulut. Namun, ketika teringat wajah Gia yang sembab, hatinya terasa lebih tidak nyaman lagi. Entahlah, tapi Gennad memang tidak bisa menoleransi apabila ada seorang lelaki yang berbuat kasar pada perempuan. Walau itu hanya sekadar mencengkeram tangan.

Lelaki itu menyalakan ketel listrik yang telah diisi air. Rencanya, ia akan mengompres wajahnya yang lebam akibat mendapat bogem mentah dari mantan kekasih Gia tadi.

Saat hendak mengambil handuk kecil di kamar mandi, terdengar ketukan pintu. Gennad melirik arlojinya sambil berpikir siapa yang mengunjunginya di jam segini dan ada keperluan apa.

Kembali terdengar ketukan, kali ini lebih keras hingga akhirnya membuat Gennad segera menghampiri pintu dan membukanya.

“Gia?” Gennad bingung kenapa perempuan itu bisa berada di depan kamarnya.

“Saya belum mengucapkan terima kasih.” Gia tersenyum canggung sambil mengangkat tangannya yang memegang baskom berisi es batu. “Boleh saya masuk?” tanyanya.

“Oh, ya, silakan,” ucap Gennad seraya bergeser, memberikan ruang agar perempuan itu bisa lewat.

Begitu masuk, Gia mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar tempat Gennad menginap itu. Ia bingung harus ke mana. Tidak mungkin langsung mendekat ke arah tempat tidur, bukan?

Gia melihat ke salah satu sudut, untung saja ada meja serta dua buah kursi kecil di dekat jendela. Jadi, ia memutuskan untuk menaruh baskom tersebut di sana saja.

Gennad segera mengambil handuk kecil dari kamar mandi dan membawanya ke hadapan Gia.

Setelah menerima handuk kecil yang diberikan Gennad, Gia meminta lelaki itu duduk di kursi kosong yang ada di seberangnya. Gennad menurut saja. Namun, matanya tak lepas memperhatikan gerak-gerik Gia saat mempersiapkan segala keperluan untuk mengompres.

“Kamu nggak perlu repot-repot begini. Saya nggak apa-apa. Saya sudah menyiapkan air panas untuk kompres tadi,” ucap Gennad yang melihat Gia mulai memeras handuk yang telah terendam air es sesaat.

Ya, ia memang repot karena harus membujuk petugas restoran hotel agar mau meminjamkan baskom dan memberinya beberapa buah es batu, tetapi Gia tidak mempedulikan itu. Perasaan bersalah malah akan terus menghantuinya jika besok pagi ia masih melihat wajah lebam Gennad tanpa melakukan apa-apa untuk membantu lelaki itu memulihkannya.

Gia menempelkan kain berbulu halus yang basah itu ke sudut bibir Gennad yang mulai membiru. Dingin, itulah yang dirasakan Gennad ketika benda lembab itu menyentuh kulitnya. Namun, selanjutnya rasa nyamanlah yang menjalar di sekujur kulit wajahnya.

“Besok kamu masih ada pekerjaan di Deluxe. Setidaknya, setelah dikompres birunya nggak akan menyebar lagi. Lagi pula, seharusnya dikompres air dingin dulu. Besok baru dengan air hangat,” jelas Gia.

“Terima kasih kalo gitu,” ucap Gennad.

Gia menggeleng. “Saya yang seharusnya berterima kasih. Kalo tadi nggak ada kamu di sana, pasti saya yang udah babak belur.”

Binar mata Gia meredup seiring dengan ucapannya barusan.

“Apa karena dia kamu terlambat pagi tadi?”

Gia bungkam, tetapi jemarinya yang menggenggam handuk terus bergerak di sekitar kulit wajah Gennad yang membiru.

“Apa yang sudah dia lakukan sampai ...” Gennad teringat dengan kancing baju Gia yang lepas. “Maaf, tapi dia nggak berbuat hal yang merugikan kamu, kan?”

Manik mata mereka bertemu dan saling mengunci beberapa saat. Hanya beberapa detik, sebab Gia yang merasa aliran darahnya hampir berhenti, mengalihkan tatapannya.

“Nggak ada hal seperti yang kamu pikirkan itu. Cuma aja, dia selalu marah karena sesuatu yang nggak sesuai dengan kemauannya dan berujung berbuat kasar sama saya. Entah itu menjambak rambut atau seperti tadi pagi, dia menarik kerah kemeja saya hanya karena saya minta izin untuk ketemu teman-teman saya.”

Gennad menatap Gia tak percaya. Bukan tidak percaya pada ucapannya, tetapi ia tidak habis pikir dengan sifat mantan kekasih dari perempuan itu yang sepertinya sudah mengarah pada ciri-ciri kelainan jiwa.

“He must be a pshyco!” geram Gennad.

“Ya, sepertinya.”

“Apa masalahnya kalo kamu hanya ingin ketemu dengan teman-teman kamu?” Lalu, Gennad kembali teringat sesuatu. “Wait, wait! Dari yang saya tangkap, perempuan tadi itu salah satu teman kamu, betul, kan?”

Lihat selengkapnya