Seketika Gennad memutus panggilan telepon dengan ibunya. Matanya tidak lepas memperhatikan perempuan yang sejak pertemuan pertama—entah mengapa—telah berhasil menarik perhatiannya.
Gia terlihat luwes dalam memperagakan sebuah tarian khas tanah Batak. Gennad tersenyum memandangi gadis itu. Tidak hanya cantik dan pintar, tidak disangka ia juga piawai dalam hal selain bekerja.
Tanpa diduga, mata mereka beradu pandang. Sang empunya bola mata indah yang sedang diamatinya tadi tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya akan kehadiran Gennad di tempat itu. Seketika konsentrasinya terpecah, tetapi ia tidak membiarkan hal itu berlarut. Setidaknya ia harus menyelesaikan pertunjukan itu dulu.
Riuh rendah serta tepuk tangan yang meriah mengiringi akhir penampilan dari para sahabat sang pengantin wanita yang mana salah satunya adalah Gia. Segerombolan perempuan-perempuan cantik berkostum etnik dengan ulos[3] tersampir di pundak dan sortali[4] bertengger indah di kepala itu berlari teratur menuju ruang di belakang pelaminan.
Gennad menyingkir ke sisi aula tempat di mana berbagai macam penganan berada. Ia meraih segelas jus jeruk dingin yang tampaknya sangat menggiurkan. Lidahnya, tenggorokannya, bahkan seisi perutnya telah lega karena cairan berwarna kuning nan menyegarkan itu. Namun, pikiran dan hatinya hanya tertuju pada satu sosok yang kini tampak nyata di hadapannya.
“Gia .…”
“Hai!” Perempuan itu menyunggingkan senyuman manis. “Apa kabar?” tanyanya canggung.
Gia merutuki detak jantungnya yang tak bisa diajak kompromi, sehingga berefek pada suaranya yang jadi sedikit bergetar.
Satu senyuman balasan dari lelaki di depannya sukses membuat detak jantung Gia berdetak dua kali lebih kencang.
“Saya baik,” jawab Gennad. “Kamu sendiri?” Ia bertanya balik seraya menyodorkan segelas air putih kepada Gia. “Kamu pasti haus setelah tampil tadi.”
“Ah, ya! Thanks.” Gia menerima gelas tersebut dan meneguk airnya. “Saya juga baik.”
Suasana canggung kembali menyelimuti atmosfer di sekitaran dua insan yang sudah lama tidak saling menyapa itu.
“Kamu …” Kalimat Gia terpenggal sebab ponsel Gennad berdering.
“Sorry.” Lelaki itu melirik nama ibunya yang tertera di layar, kemudian mengangkat panggilannya. “Halo, Ma?” sapanya. “Aku udah di sini. Mama sama Papa duduk di mana, sih, sebenarnya? Apa? Sebentar-sebentar. Nanti aku hubungi Mama lagi.”
Gennad kembali melirik Gia. “Kamu mau tanya apa tadi?” tanyanya.
“Oh, itu … saya cuma penasaran, kamu kerabat dari pengantin laki-laki atau perempuan?”
“Sebenarnya hal itu yang ingin saya pastikan ke kamu,” jawab Gennad.
“Kenapa malah tanya saya?”
“Karena saya nggak yakin apa saya kenal kedua mempelai di depan sana. Seharusnya saya datang dari pihak perempuan, tapi saya cari-cari keberadaan orang tua dan saudara saya yang lain, nggak ketemu juga sejak tadi.”
“Berarti kemungkinan besar kamu memang salah masuk ke tempat acara,” kata Gia mantap. “Pengantin perempuan itu namanya Yanet. Yanet Carolina Tambunan.”
“Sepupu saya namanya Intan Sinaga.”
“Kamu yakin acaranya di hotel ini?”
“Yakin. Cuma, saya nggak tahu lokasi aula hotelnya, jadi saya ikut arah papan bunga yang banyak mengarah ke sini.”
“Kamu nggak baca nama di papan bunganya?” Gennad menggeleng. Gia bertanya lagi, “Di buku tamu tadi, kamu juga nggak lihat nama pengantinnya?” Gennad menggeleng lagi.
Gia menghela napas. Pikirnya, berarti benar lelaki itu telah salah datang ke acara orang lain alih-alih acara pernikahan saudaranya.
“Ayo ikut saya ke resepsionis!” ajak Gia.
***
Kedua orang itu kini tiba di depan sebuah aula yang terletak di sisi belakang hotel. Untuk mencapai gedung itu, mereka harus memutari hotel dari luar, bukan melewati lobi. Jika dilihat-lihat, bagian depan hotel memang banyak terpajang papan bunga untuk pernikahan Yanet dan Ewin. Gennad yang tidak fokus tentu akan berpikir bahwa itu adalah acara pernikahan satu-satunya yang diselenggarakan di hotel tersebut.
“Melihat keyakinan kamu sewaktu mengatasi permasalahan di Deluxe dulu itu, saya kira kamu nggak akan pernah melakukan kesalahan.” Gia tersenyum mengejek.
“Saya baru aja sampai, Nyonya Besar sudah sibuk neror. Saya cuma berpikir yang penting bisa sampai di hotel ini sesegera mungkin. Kebetulan menemukan acara pernikahan, ya, saya masuk. Mana saya tahu kalo ada dua acara di sini,” jelas Gennad panjang lebar.
Gia mengangguk-angguk sambil mencibir. “Ya sudah, kalo gitu saya balik dulu.”
“Kamu nggak mau ikut masuk sama saya?” tawar Gennad.
“Ngapain?” Sebelah alis Gia terangkat
“Kenalan sama keluarga saya,” ujar Gennad santai.
Mata Gia membulat. “Memangnya saya siapa sampai harus kenalan dengan keluarga kamu? Pacar bukan, calon istri apa lagi,” gerutunya.
“Calon pacar juga bisa, kok,” seloroh Gennad.
“Ka—“
“Gia! Pak Gennad!” Sesosok suara memanggil nama mereka yang sedang terlibat perdebatan.
Keduanya sontak menoleh pada sumber suara. Tampaklah Kristo yang berdiri tak jauh dari tempat mereka, menatap dengan bingung kedua orang yang tak disangka-sangka akan ditemuinya hari ini, di tempat ini.
“Kristo! Lo, kok, bisa ada di sini?” tanya Gia tak kalah bingung. Lalu ia menyadari sesuatu. “Jangan bilang ini acara ....”
Menganggukkan kepala, Kristo menjawab, “Theo. Nikahannya Theo.”
“Kalian kenal dengan suaminya Intan?” Kali ini Gennad ikut bersuara.