Gia tak butuh alarm untuk membuatnya terjaga dari tidur. Bahkan sebelum waktu subuh tiba, perempuan itu telah selesai dari rangkaian ritual pagi harinya. Kini, ia tengah sibuk di depan lemari dan memilih-milih pakaian yang akan dikenakannya hari ini.
Setelah menimang-nimang, Gia akhirnya memutuskan untuk mengenakan atasan kemeja sutra berwarna maroon dengan obi berwarna senada. Ia memadukannya dengan celana panjang berwarna hitam yang membalut indah bentuk kaki jenjangnya.
Selesai dengan pakaian, Gia beralih untuk merias wajah dan merapikan rambutnya. Sekali lagi perempuan itu mematut diri di cermin. Ia mengagumi penampilannya hari ini. Namun, masih ada yang kurang. Gia membuka lemari sepatu miliknya dan mengambil sepasang stiletto hitam kesayangannya.
Perfect, pujinya pada diri sendiri. Sebagai sentuhan akhir, Gia menyemprotkan parfum ke tubuhnya lalu bergegas turun ke lantai bawah untuk sarapan.
Dengan bersenandung kecil, Gia duduk sambil menuangkan teh hijau yang sudah tersedia di meja makan ke cangkir miliknya.
Sang ibunda yang baru saja keluar dari pintu dapur dibuat terheran karena tidak menyangka akan bertemu dengan putrinya sepagi ini. Biasanya beliau hanya akan berpapasan dengan Gia ketika anak perempuannya itu akan berangkat kerja, hanya untuk berpamitan tanpa menikmati sarapannya di rumah.
“Tumben?” ucap ibu Gia sembari meletakkan nasi goreng ke atas meja makan.
Gia paham maksud ibunya itu. “Ya, harinya lagi bagus aja, Ma. Ada waktu buat sarapan, ya, aku sarapan.”
“Mau nasi goreng atau roti aja?” tawar ibunya.
“Roti aja, Ma. Aku lagi malas sarapan nasi goreng. Nanti bau bawang,” ujar Gia sembari mengekeh.
Ibunya hanya memandangi anak gadisnya itu seraya tersenyum. Sepertinya ada yang berbeda dengan Gia hari ini.
“Mobil kamu masih belum selesai?” Ibu Gia turut duduk di sebelahnya.
“Sekitar dua hari lagi selesai. Itu juga baru perkiraan dari orang bengkel. Bisa lebih cepat, bisa lebih lama.” Gia menjawab sambil mengunyah roti tanpa selai yang selalu menjadi pilihan menu sarapannya selain nasi goreng.
“Terus, kamu berangkat naik taksi online lagi?”
“Enggak,” jawabnya. “Ada teman yang mau jemput.”
“Siapa?” tanya ibunya penasaran. “Kristo?”
“Ada, lah. Mama nggak kenal.”
“Pacar baru, ya?” selidik ibunya lagi.
“Bel-eh, bukan!”
Ibunya kembali tersenyum, tetapi kali ini senyuman usil yang berhasil membuat Gia merasa seperti tertangkap basah makan di tengah malam padahal sedang diet.
Dering ponsel Gia membuat ibu dan anak tersebut sama-sama menoleh pada benda pipih yang tergeletak di atas meja itu.
Ada sebuah pesan yang masuk dengan nama Gennad sebagai pengirimnya. Gia membaca pesan yang mengabarkan bahwa lelaki itu telah berada di depan rumahnya.
Cepat-cepat Gia meneguk habis sisa tehnya yang sudah tidak hangat lagi. Kemudian ia berpamitan kepada sang ibunda. “Aku berangkat dulu, Ma.” Ia mengecup sebelah pipi ibunya, lalu meraih tas tangannya.
“Eh, teman kamu nggak disuruh masuk dulu? Mama buatkan teh atau kopi, nih!”
“Nggak usah, Ma! Aku pergi, ya!” serunya seraya berjalan cepat menuju gerbang rumah.
Ibu Gia tentu tahu bahwa yang menjemput anak perempuannya itu adalah seorang laki-laki. Dari rona wajah yang ditangkapnya sepanjang pagi ini, terlebih saat buah hatinya itu menjawab dengan terbata ketika sang ibu menanyakan status orang yang menjemputnya. Namun, perempuan paruh baya itu tidak mau terlalu mencampuri urusan percintaan anaknya lagi.
Ia sudah cukup merasa bersalah karena dulu terus mendesak agar Gia menikah dengan Dave, yang ternyata tak cukup baik untuk menjadi pendamping hidup putri semata wayangnya itu.
Baru saja Gia hendak keluar dari rumah, Gennad sudah berdiri di depan pagar, bersiap menekan bel. Buru-buru Gia menghampiri lelaki itu sebelum sang ibunda melihat kedatangannya.
“Sudah siap?” tanya Gennad begitu Gia berdiri di hadapannya.
“Sudah. Ayo berangkat!” Gia melangkah cepat menuju mobil.
Begitu keduanya duduk di posisi nyaman masing-masing, Gennad melirik ke arah perempuan di sebelahnya itu.
“Ini nggak apa-apa kalo kita nggak pamit dulu ke orang tua kamu?” tanya Gennad sambil memasang sabuk pengaman.
“Tadi udah saya wakilkan,” jawab Gia sekenanya.
“Nanti dikira saya nggak sopan? Saya nggak mau image saya rusak kalo nanti saya main lagi ke rumah kamu, loh.”