Mobil yang Gennad kendarai berhenti tepat di depan lobi kantor Deluxe Pack saat perempuan yang ingin dijemputnya baru saja keluar dari pintu kaca perusahaan tersebut.
Ia melihat bibir perempuan itu berkomat-kamit. Sepertinya sedang berbicara melalui alat pendengar nirkabel. Hatinya bergejolak melihat paras ayu dari sosok yang sejak pertemuan kembali mereka itu tidak pernah sedetik pun hilang dari pikirannya.
Sementara itu, Gia yang memang sedang berbicara dengan Kristo melalui panggilan telepon, berusaha agar Gennad tidak melihat wajahnya yang mungkin saat ini sudah berlipat dua belas. Bagaimana tidak? Gia meninggalkan lelaki itu di ruangan departemen Quality, tetapi baru sepuluh langkah menjauh, sahabatnya yang ingin tahu segalanya itu menelepon hanya demi menggodanya.
“Nggak salah, kan, kalo gue bilang lo sama Pak Gennad itu TTM-an? Buktinya aja, lo pakai acara minta jemput segala sama dia.” Begitu kata Kristo saat panggilannya baru diangkat Gia.
“Gue nggak pernah minta di antar jemput sama dia. Dia yang menawarkan diri karena tahu mobil gue lagi di bengkel,” jelas Gia, “dan jangan pikir gue main terima-terima gitu aja, ya! Gue juga jaga image, kali!”
Kristo tertawa di seberang, membuat Gia semakin keki. “Udah, deh. Gue matiin teleponnya, ya. Gennad udah nungguin, nih.”
“Eee—!”
Gia menyimpan ponselnya ke dalam tas, sebelum membuka pintu mobil. Begitu masuk, ia disambut oleh wajah tampan Gennad yang sedang tersenyum manis padanya.
“I'm not late, am I?” tanya Gennad dengan wajah semringahnya.
Melirik sedikit, Gia tersenyum pada lelaki di sebelahnya itu. “Kamu ada rencana mau ngajak saya ke mana sampai harus maksa jemput segala?”
“Jadi kamu terpaksa?”
“Bukan terpaksa, cuma si Kristo dari tadi pagi udah resek. Dia sampai ngikutin saya ke ruangan dan minta penjelasan kenapa saya bisa diantar kamu segala.”
“Lalu, kamu jawab apa?”
Gia melirik Gennad sekilas, lalu ia membuang pandangannya ke luar jendela. “Saya juga nggak ngerti kenapa kamu mau antar jemput saya hari ini.”
Gennad tidak menanggapi, bahkan terkesan tidak peduli dengan jawaban Gia. Ia hanya fokus mengemudi.
Mobil mulai melaju, meninggalkan pelataran gedung Deluxe Pack tanpa Gia tahu kemana Gennad akan membawanya. Lelaki itu belum menjawab pertanyaannya mengenai tujuan mereka sore ini.
Hari sudah mulai gelap ketika mobil yang dikemudikan Gennad berjalan perlahan memasuki gerbang sebuah komplek perumahan yang tak Gia kenal.
“Kita mau ke mana?” tanya Gia karena merasa asing dengan tempat itu.
“Ke rumah saya,” jawab Gennad enteng, tapi sukses membuat mata Gia membulat.
“Hah?!” Perempuan itu memekik.
Gennad tidak terusik dengan raut wajah Gia yang jelas sekali menyimpan tanya dan protes. Ia mematikan mesin mobil dan segera turun. Mengitari mobil hingga ke sisi penumpang depan, lalu membukakan pintu bagi perempuan cantik yang kini ternganga, tak tahu harus berkomentar apa.
“Ayo masuk!” ajak Gennad seraya tersenyum. Sayangnya, kali ini Gia tidak luluh melihat senyuman itu.
“Tunggu! Kenapa kita harus ke rumah kamu? Saya harus ngapain, Gennad?”
“Kamu nggak harus ngapa-ngapain,” kata Gennad, “rileks aja.”
“Iya, tapi ….”
Gia masih tak mengerti maksud dari lelaki bertubuh tegap itu. Ia merasakan degup jantungnya kian kencang ketika ibu Gennad keluar dari pintu utama dan menyambut mereka.
Mau rileks bagaimana? Nggak ada aba-aba, tiba-tiba harus singgah ke rumahnya!
Gia menggerutu dalam hati.
“Halo, Cantik!” sapa ibu Gennad seraya merangkul pundak Gia dengan akrab.
Gia jadi gelagapan sendiri. Bukan merasa risih, ia hanya merasa canggung karena bingung dengan tindakan Gennad yang tiba-tiba mengajaknya berkunjung ke rumah lelaki itu. Memangnya ia siapa, pikirnya begitu. Namun, bukan Gia namanya jika tidak bisa mengendalikan keadaan.