Kala Cinta Membawamu Pulang

Belinda Marchely
Chapter #15

(Batal) Mengukir Kenangan

Dua insan yang baru saja saling mengakui perasaan itu mampir ke sebuah kedai kopi kekinian tak jauh dari rumah Gia. Berhubung baru meresmikan hubungan, tentu mereka tidak akan melewatkan ritual kencan di malam hari seperti saat ini.

Mereka duduk berhadapan di salah satu sudut yang nyaman. Tidak banyak orang berlalu lalang, sehingga mereka dapat leluasa bercakap-cakap tanpa terganggu pendengaran atau pun pandangan.

Setelah membuat pesanan, Gia bertanya pada Gennad. “Kamu kapan balik ke Sydney?”

“Lusa,” jawab Gennad.

“Oh .…”

Wajah Gia yang tadi cerah berubah redup seketika dan itu tak luput dari pandangan mata Gennad.

“Apa aku perlu extend cuti beberapa hari lagi?” Ia bertanya begitu sambil menatap lurus pada sang kekasih.

Ditatap lekat-lekat begitu, wajah Gia merona. “Nggak perlu, lah. Beberapa hari ini aja, pekerjaan kamu pasti terbengkalai. Aku nggak mau kamu sampai kena masalah waktu balik kerja nanti.” ujarnya. “Lagi pula komunikasi sekarang, kan, gampang. Bisa lewat apa aja.”

Hening sesaat sampai Gia teringat sesuatu.

“Tunggu. Sejak kapan kita ngomong pakai ‘aku'?”

Gennad tertawa kecil. “Aku di sini sekarang, kan, sebagai pacar kamu, bukan supplier kantor kamu.” Ia menyesap Americano yang baru saja disajikan pelayan di meja mereka.

Gia tak menyahut. Ia pun menikmati teh hijau pesananannya. Hangat dan menenangkan. Sama seperti tatapan teduh milik lelaki bermata cokelat di hadapannya.

“Aku merasa déja vu duduk di kafe kayak gini sama kamu,” ucap Gia yang diiyakan oleh Gennad.

“Kamu tahu?” tanya lelaki itu. Gia menggeleng. “Aku rasa dari situlah garis takdir kita dimulai. Kalo nggak ada kejadian di resto waktu itu, kita nggak akan pernah dekat dan bisa menjalin hubungan seperti ini.”

“Jadi benar, kan, waktu itu lo selingkuh dari gue?!”

Tiba-tiba saja suara seorang laki-laki nyaring terdengar dari arah belakang Gennad. Mata Gia yang membulat membuat lelaki itu menoleh demi menemukan siapa gerangan pemilik suara itu.

“Dave?!” Gia berseru kaget.

“Kamu?” Gennad tak menyangka akan bertemu mantan kekasih dari kekasihnya di tempat ini.

“Kalian berdua itu memang munafik! Sok nggak mengakui ada main di belakang gue, padahal udah jelas kalian berdua pacaran.”

“Dave, kita udah nggak ada hubungan lagi. Kamu nggak berhak menghakimi hubungan aku sama Gennad.”

“Diam lo, perempuan murahan!” hardik Dave seraya menudingkan jari telunjuknya ke hadapan wajah Gia.

Gennad menepis tangan Dave dengan kasar. “Dia memang pacar saya sekarang dan saya nggak akan membiarkan kamu bersikap kasar sama dia, lebih dari saat dulu kamu masih menjadi pacarnya,” ucapnya lambat, tetapi tajam. “Jadi, jauhkan tangan kurang ajar kamu itu dari hadapan Gia!”

Dave menyeringai. “Heh, nggak rugi gue lepasin perempuan murahan macam lo!”

Tubuh Gennad menegang mendengar kata-kata kasar yang diucapkan Dave. Ia mendekatkan wajahnya dan memelototi lelaki berambut cepak itu. Tangannya yang sudah terkepal bersiap untuk melemparkan bogem mentah. Namun, Gia dengan sigap menahan kekasihnya agar tidak terpancing emosi.

Sebagai gantinya, Gia menatap Dave tajam dan mengucapkan kalimat yang membuat lelaki itu terdiam membisu.

“Justru aku terlalu mahal dibandingkan dengan Kalista yang mau-maunya jalan sama pacar orang. Memang nggak salah kamu dekat sama dia. Kalian berdua sama-sama murahan!” Suara Gia merendah, tetapi justru menusuk. “Dan kamu jangan pura-pura lupa siapa yang lebih dulu mengakhiri hubungan nggak sehat kita!”

Gia meraih tasnya dan menarik tangan Gennad untuk keluar dari tempat itu. Lama-lama berurusan dengan Dave, bisa-bisa tekanan darahnya meningkat.

Keduanya masuk ke dalam mobil. Saat helaan napas kekasihnya terdengar jelas oleh Gennad, ia menarik tubuh Gia dan memeluknya.

Lama mereka hanya berpelukan tanpa berbicara sepatah kata pun. Gennad hanya ingin memberikan ketenangan bagi perempuan pujaan hatinya tersebut.

Gia merasakan hangat tubuh Gennad menenteramkan jiwanya yang hampir luluh lantak sebab pertemuan tak sengaja dengan mantan kekasihnya.

Ia tak masalah jika harus bertemu dengan Dave. Tidak sedikit pun kenangan manis tersisa di dalam memori Gia. Ia hanya tidak terima atas perkataan kasar lelaki itu terhadapnya.

“Dulu saat melihat kamu menangis, aku nggak bisa berbuat apa-apa, karena bukan siapa-siapa. Sekarang aku bisa memeluk kamu. Aku berharap bisa memberikan ketenangan melalui pelukanku.”

Darah Gia berdesir hebat mendengar kalimat manis yang diucapkan Gennad, kekasihnya. Tanpa ia sadari, air matanya mulai mengalir karena haru.

“Makasih,” ucap Gia pelan.

“Untuk?”

“Karena kamu selalu ada waktu aku berurusan sama si iblis itu.”

Gennad terkekeh kecil. Ia lalu mengusap lembut punggung kekasihnya itu. Setelah dirasanya Gia cukup tenang, ia melepaskan pelukannya.

“Kamu yang hebat bisa menghadapi laki-laki seperti dia. Aku cuma kebetulan ada di saat-saat itu.”

Lihat selengkapnya