Sepasang bola mata berwarna cokelat itu tak henti memandangi sang pujaan hati yang sedang berada di atas panggung. Bagai seorang penari teater profesional, perempuan itu berlenggak-lenggok dengan senyum yang tak pernah lekang dari wajah cantiknya. Hal itu tak ayal membuat si empunya bola mata yang sedang mengamati pun turut tersenyum.
“She’s very impressive!” Teriakan Karen beradu dengan riuh rendah penonton di dalam gedung teater.
“She is,” ucap Gennad bangga. Ia membidikkan kamera ke arah panggung, mengabadikan potret sang kekasih hati yang akan sangat dirindukannya nanti ketika ia kembali ke negeri Kanguru.
“I like her,” kata Karen kemudian.
Gennad hanya tersenyum. Tepat saat sang kekasih melirik ke arahnya, ia membidikkan kamera menangkap wajah cantik yang kini tersipu malu itu.
Suara musik pengiring mulai berubah sayup, menandakan sesi tari pembuka berjudul Tortor Sihutur Sanggul itu berakhir. Para penari bergerak teratur turun dari panggung. Gennad dan Karen yang menunggu di bawah panggung langsung menyambut Gia ketika perempuan itu tiba di sana.
“You’re awesome!” puji Gennad pada sang kekasih yang wajahnya dipenuhi peluh.
“Apa aku nggak aneh tadi di depan? Aku sebenarnya gugup, tapi udah terlanjur maju.” Gia berusaha menetralkan detak jantungnya yang tak karuan.
Karen menggenggam tangan Gia dan tersenyum. “Makasih, Kak. Kamu keren banget di atas panggung tadi.”
“Am I?” tanya Gia pada kedua kakak beradik itu dan keduanya mengangguk semangat.
Seseorang menghampiri mereka.
“Ren, jadi mau pulang?” tanyanya. Seorang lelaki, kira-kira seumuran dengan adik perempuan Gennad itu.
“Jadi. Sebentar, ya,” sahut Karen. Ia kemudian berpaling pada Gennad dan Gia. “Abang sama Kak Gia jalan aja. Aku biar pulang sama Ando.”
“Who is he?” tanya Gennad protektif pada sang adik.
Dari wajah Karen yang tersipu, Gia tahu bahwa hubungan keduanya lebih dari sekadar teman biasa. Perempuan itu menggenggam jemari kekasihnya dan mengambil alih untuk berbicara dengan Karen.
“Hati-hati pulangnya, ya. Sampai ketemu lagi,” ucapnya pada sang calon adik ipar.
“Kapan-kapan kita harus meet up lagi, ya, Kak!” ucap Karen seraya melambaikan tangannya pada Gia dan Gennad.
Gia balas melambai. Lalu, setelah Karen dan Ando tidak terlihat lagi, ia beralih pada sang kekasih. “Aku ganti baju dulu, ya.”
Gennad mengangguk.
***
“Ge, boleh berhenti di sini?”
Tiba-tiba saja, Gia meminta Gennad memberhentikan mobilnya di depan Gereja Katedral. Lelaki itu menurutinya, ia segera berbelok untuk mencari tempat parkir.
“Kita singgah sebentar, ya?”
Gennad mengangguk. Keduanya pun masuk ke dalam gedung bergaya arsitektur neo-gotik nan megah itu.
Gia sungguh takjub akan keindahan interior gereja tersebut. Namun, bukan hanya itu yang membuatnya merasa sangat nyaman berada di dalamnya. Ada semacam ketertarikan yang begitu kuat ia rasakan.
Perempuan itu terus berjalan hingga ke bagian tengah gedung, lalu duduk pada salah satu bangku di sana. Ia menutup matanya, merasakan ketenangan yang teramat sangat. Lama hanya menutup mata dalam hening, hingga kemudian hatinya berbicara pada sang khalik.
Sementara itu, Gennad yang memerhatikan gerak-gerik Gia sejak tadi hanya mengawasi dari jauh. Ia tidak tahu apa yang hendak dilakukan kekasihnya itu, tetapi sepertinya perempuan itu sedang asyik dengan keheningannya sendiri.
Lelaki itu diam-diam mengambil potret sang kekasih.