Rose terbangun setelah mendengar ayam berkokok, dia memang selalu bangun pagi, entah dalam suasana hati baik atau tidak, Rose selalu berharap paginya menyenangkan walaupun dia tahu bahwa beberapa saat, ada kalanya dia harus memaki, mengumpat dan juga menyumpah serapahi hidupnya. Anak orang kaya memiliki segalanya tapi ternyata tidak beruntung dengan cinta. Dia akan menyerah, tapi memikirkan banyak hal yang harus dia pertimbangkan ternyata sulit. Dia harus hidup berpura-pura dan itu tidak nyaman.
"Selamat pagi Mas Dias," sapanya tersenyum kepada sang suami, meskipun dia tahu Dias hanya menanggapi dengan sebuah deheman biasa.
"Pagi," jawabnya. Rose sempat terbengong sejenak, tidak biasanya Dias menjawab meski itu hanyalah jawaban singkat seperti, 'ya atau tidak' jarang sekali pria itu mau berbicara dengannya. Dua tahun pernikahan, mereka hanya berbicara jika diperlukan atau ada acara keluarga saja, entah itu keluarga Rose ataupun Dias. Dan Dias, tidak pernah berbicara lebih dulu, jadi Rose tahu bagaimana karakter pria itu. Meski Dias tidak melihat dan mencintainya, tapi dia pernah mencintai–masih mencintai pria itu. Bahkan sampai sekarang, rasanya Rose ingin menangis dan berteriak bahwa Dias adalah suaminya. Tapi, apa daya? Tidak ada yang bisa dia lakukan, dia harus bersikap layaknya istri seorang CEO yang memang anggun, dan patuh pada setiap langkah hidupnya.
"Rose," panggil Dias, Rose tidak langsung menjawab dia berhenti membuat sandwich dan membalikkan tubuhnya menghadap Dias. Tepat, di hadapan pria itu.
"Ada apa Mas?" tanyanya dengan senyuman yang selalu dia tebarkan di setiap waktunya meski tidak pernah dihargai.
Sejenak Dias ragu, tapi akhirnya dia berbicara "nanti malam perayaan ulang tahun karyawan ku, dia bukan termasuk orang yang dikenal banyak orang, tapi dia rekan kerja papa ku, dan sebenarnya mantan manajer di perusahaan papa, seumuran dengan papa dan sedang mengadakan perayaan ulang tahun pernikahannya yang 35 tahun, aku diundang, jadi aku ingin mengajak kamu." Dias berpaling, dia tidak pandai berkata-kata, selama ini pun hanya mantan tunangannya yang selalu berinisiatif duluan.
Rose tersenyum, dia menganggumi Dias yang cukup pemberani untuk beberapa saat. Dias itu pemalu, dan gengsi, tapi dia mengesampingkan semua itu demi kepentingan acara, apalagi jika sudah menyangkut keluarganya, pria itu termasuk mudah sekali dimanfaatkan. Makanya, Rose mau dengannya, meski wanita itu tahu tidak pernah ada namanya di hati Dias.
"Oke, jadi Mas Dias, sebenarnya mau mengajak aku pergi kan? Begitu?" Rose bertanya dengan mengangkat sebelah alisnya, menunggu jawaban Dias.
Dias mengangguk, dan "iya, nanti kita pergi bersama saja,"
"Baiklah, jam berapa?" tanya Rose lagi.
"Pukul tujuh malam, aku akan pulang sebelum jam lima dan kamu bersiaplah nanti."