Cinta Yang Hilang

Dewi Muliyawan
Chapter #1

Api Cinta Yang Padam

Savannah menyandarkan punggungnya yang pegal di sofa. Tengah malam sudah jauh terlewat. Dia membiarkan lampu ruang tengah tetap padam. Dalam gelap dan sepi, tubuh dan benak Savannah bisa beristirahat lebih baik. Sepasang sepatu high heels tergeletak sembarangan di dekat kaki Savannah. Telapak kakinya terasa nyaman menapak karpet tebal yang lembut, setelah berjam-jam menggunakan sepatu berhak hampir sepuluh sentimeter itu. Shooting hari ini selesai jauh lebih lambat dari jadwal yang sudah dibuat. Memang pengambilan gambar yang melibatkan banyak orang seringkali harus diulang-ulang untuk mendapatkan hasil yang bagus. Savannah sama sekali tidak mengeluh, dia sudah terbiasa dengan ritme kerja seperti itu.

Savannah bukan artis instan yang terkenal dalam sekejap mata karena hal-hal kontroversial atau sensasi murahan. Bertahun-tahun Savannah merintis karir di dunia hiburan. Berawal dari figuran yang cuma numpang lewat sesaat di layar sampai sekarang telah menjadi artis papan atas. Banyak peran utama ditawarkan pada Savannah. Kemampuan acting yang terasah pengalaman berpadu dengan kecantikan fisiknya jadi faktor penting dalam karir Savannah. Di usianya yang sudah tigapuluh lima tahun Savannah masih terlihat sepuluh tahun lebih mua.. Dia tinggi, langsing dengan kulit coklat eksotis. Rambutnya hitam legam sebahu Pesonanya semakin matang seiring bertambahnya usia.

Klik!

Savannah sedikit kaget karena lampu ruang tengah mendadak menyala Dito, suaminya, juga tampak heran melihat Savannah duduk sendirian dalam gelap.

“Kamu baru pulang?” tanya Dito pelan. Terdengar ada nada tidak suka dalam pertanyaan Dito. Savannah ingin protes tapi dia terlalu lelah untuk berdebat, jadi hanya anggukan kecil dan senyum samar menjadi jawaban. Bibir Dito terbuka seakan hendak kembali melontarkan kata-kata, tapi dia membatalkan niatnya. Seakan sadar bahwa komunikasi antara mereka telah lama macet. Dengan mengangkat bahu Dito berjalan ke dapur.

Dapur Savannah terletak di sisi kanan ruang tengah. Dengan disain rumah yang minim sekat, Savannah bisa melihat kesibukan kecil Dito di sana. Denting sendok beradu dengan cangkir terdengar nyaring dalam suasana rumah yang sepi. Dalam sekejap harum aroma kopi membelai hidung Savannah. Dia sebenarnya lebih suka meminum teh, tapi saat lelah dan kedinginan seperti ini Savannah tidak akan menolak bila Dito menawarkan secangkir kopi. Sayang, Savannah sedang enggan bicara. Pastinya Dito juga bukan tipe pria sensitif yang peka dengan keinginan istrinya. Dito memberikan sesuatu tanpa diminta rasanya hanya terjadi dulu sekali di tahun-tahun awal pernikahan mereka.

Entah gelas kopi keberapa yang diminum Dito hari ini. Savannah masih hafal kebiasaan suaminya minum bergelas-gelas kopi saat harus bekerja sampai larut malam seperti ini. Pasti ada proyek film baru yang sedang digarapnya. Predikat Dito sebagai sutradara film ternama memang sering memaksanya bekerja tanpa mengenal waktu.

Savannah menelan ludah memandang Dito yang berjalan membawa cangkirnya tanpa menoleh, lalu menghilang di balik pintu kamar. Helaan napas Savannah terasa berat. Kondisi pernikahannya dengan Dito memang tidak bisa dibilang sehat. Sudah lama mereka berhenti bertukar cerita. Sentuhan dan pelukan Dito yang hangat tidak pernah lagi Savannah rasakan. Tahun ini mereka memasuki usia pernikahan ke sepuluh. Savannah tidak bisa mengingat kapan tepatnya kehangatan dalam rumah tangganya menghilang. Yang dia rasakan hanya perlahan Dito semakin menjauh. Mereka berubah menjadi orang asing yang tinggal dalam satu rumah. Api cinta di antara mereka telah padam.

Puncaknya adalah saat mereka tidak lagi tidur bersama. Dito memilih menghabiskan malam di sofa bed dalam ruang kerjanya. Dulu dia hanya beristirahat di sana saat kantuk menyerang padahal masih setumpuk pekerjaan yang harus dituntaskan. Tidur satu atau dua jam jadi pilihan terbaik agar Dito bisa beristirahat sejenak. Kini setiap malam Dito mengurung diri di sana. Entah apa yang dia kerjakan. Savannah juga tidak pernah lagi menjejakkan kaki di ruang kerja Dito.

Memang tidak ada pertengkaran yang menguras emosi di antara mereka. Rasa curiga dan cemburu juga sudah lama pergi. Savannah tidak tahu apakah kondisi ini lebih baik daripada pernikahan yang penuh dengan pertengkaran dan kekerasan. Mendengarkan curhat teman-temannya yang mendapatkan kekerasan dari suaminya membuat Savannah ngeri.

Lihat selengkapnya