Dito masih menatap laptop di depannya. Malam sudah lewat, tapi pekerjaannya belum selesai juga. Dengan teliti dibacanya lembar demi lembar skenario film yang akan jadi proyek terbarunya. Sesekali tangan Dito mencoret-coret buku di sampingnya, membuat catatan-catatan penting. Begitu serius dia bekerja hingga diabaikannya ponsel yang berdering-dering di atas meja. Namun, rupanya sang penelepon tidak kenal putus asa. Dua kali teleponnya tidak terjawab, dan dia masih menelepon.
Dito mendengus kesal karena jeritan ponsel itu mengganggu konsentrasinya. Dia paling tidak suka kesibukannya disela. Dengan masih memandang layar laptop, tangan Dito meraih ponsel di atas meja. Sekilas dia melirik layar kecil itu, siap menekan tombol reject lalu mute sekiranya penelepon itu tidak penting, apalagi bila datang dari nama yang tak dikenal. Ternyata nama istimewa yang muncul di layar ponselnya. Mendadak kekesalannya hilang, berganti dengan senyum kecil di wajahnya.
“Halo, sayang...,” sapa Dito dengan suara berat.
“Ahhh… baru bangun tidur ya…?” suara manja di ujung sana terdengar renyah di pagi menjelang siang ini. Minat Dito pada laptop yang turun 50% saat melihat nama Kalista di layar ponsel kini sudah benar-benar hilang 100% setelah mendengar suaranya. Pesona pemilik suara ini terlalu kuat untuk diacuhkan. Cantik, manja dan sensual adalah tiga kata yang bisa menggambarkan Kalista, gadis yang sudah enam bulan ini menjadi matahari yang menghangatkan hari-hari Dito.
“Tebakan kamu salah,” jawab Dito. Dia berdiri, melangkah ke jendela dan membuka tirainya. Membiarkan sinar matahari menyentuh ruang kerjanya. Ruangan yang semula dingin karena hembusan AC semalaman, perlahan menghangat. Dito meregangkan tubuhnya yang kaku akibat duduk semalaman. Sekarang dia merasa santai karena telinganya dimanjakan oleh suara merdu Kalista, sementara kesejukan taman belakang rumahnya mengurangi kelelahan di matanya. “Aku belum tidur.”
“Ha? Kenapa begadang?”
“Biasa lah. Keasikan baca-baca skenario nih.”
“Yah, gitu deh. Kalau sudah kerja pasti lupa sama aku.” rajuk Kalista. “Kan hari ini Mas Dito janji mau antar aku shooting video clip.”
“Astaga!” Dito menepuk dahinya. “Aduh sori, Ta. Aku lupa,” ini sungguh salah satu kebiasaan buruk Dito. Kalau sudah tenggelam dalam kesibukan dia bisa jadi begitu pelupa. Tidak heran bila dia dan Savannah sering bertengkah gara-gara Dito lupa janjinya sendiri.
“Terus bagaimana dong, Mas? Lokasi shooting aku jauh lo. Mobilku sedang di bengkel. Masa’ aku harus naik taksi?” Kalista mengeluarkan jurus merayu. Ini persoalan penting. Bisa gawat kalau Dito tidak bisa mengantarnya. Untuk keperluan shooting biasanya Kalista perlu membawa banyak perlengkapan. Paling tidak tiga pasang sepatu, stocking, body suit, belum lagi peralatan make up-nya. Satu koper ukuran sedang dan satu travelling bag pasti akan sangat merepotkan kalau harus dibawa-bawa menggunakan taksi.
Dito menggaruk kepalanya. Sambil berpikir dia memindahkan ponsel dari telinga kanan ke kiri, sekedar mengulur waktu. Tidak mungkin dia mengantar Kalista dengan kondisi tidak tidur semalaman seperti ini. Bahaya sekali menyetir dalam kondisi mengantuk. Apalagi lokasi shooting Kalista agak di luar kota.
“Maas… gimana…?”
“Gini aja deh,” ide cemerlang mampir ke benak Dito. “Karena aku enggak bisa antar, kamu pakai mobilku saja,” kata Dito dengan nada meminta maaf.
“Asiiik, beneran nih, Mas?” Dito membayangkan Kalista di seberang sana melonjak kegirangan. Kalista sama sekali tidak keberatan dengan usul Dito. Menyetir sendiri baginya bukan pekerjaan berat. Dia biasa pergi kemana-mana sendirian tanpa supir. Justru menyetir mobil mewah milik Dito pasti sangat menyenangkan. Kalista sudah membayangkan akan memacu mobil Dito dengan kecepatan tinggi di jalan tol nanti. Wah, pasti seru.
“Benar dong. Kamu ke sini ya, ambil mobilnya.”
Hening. Kalista terdiam. Helo? Dia? Kalista? Datang ke rumah Dito untuk mengambil mobil? Apa kabar nanti kalau ketemu Savannah? Bisa-bisa pecah perang dunia. Curiga jangan-jangan Dito sedang mimpi atau ini prank. Hari gini harus waspada dengan jebakan prank.
“Halo? Ta?”
“Eh… maksudnya gimana, Mas? Aku ke rumah kamu buat ambil mobil?”
“Iya. Bisa?” Dito membaca keraguan di suara Kalista. “Apartemen kamu nggak jauh dari sini kan? Minta antar Canti saja. Sori aku nggak bisa jemput. Kerjaanku lagi tanggung nih buat ditinggal-tinggal.”
“Eh… tapi… nanti… kalau ada istrimu, bagaimana?” dengan polos, Kalista bertanya ragu.
Oooo, Dito terbahak. Dia lupa menjelaskan kalau hanya ada dia sendiri di rumahnya sekarang. Pantas saja Kalista bingung.