“Minum dulu, Va,” Marina meletakan gelas berisi air putih dingin di meja rias Savannah. Artisnya itu sedang duduk menghadap kaca. Memeriksa riasannya dan melakukan touch up. Marina mengambil kursi yang lain lalu duduk di belakang Savannah. Bayangan wajah Savannah di cermin itu tampak galau.
Sayup-sayup terdengar keriuhan di luar kamar yang disediakan sebagai tempat istirahat Savannah. Para crew pasti masih sibuk mengambil gambar aktor dan artis lain. Enaknya menjadi peran utama adalah mendapat fasilitas kamar untuk menunggu saat jeda antar pengambilan gambar. Dan khusus untuk Savannah tentu disediakan kamar yang sangat nyaman. Di dalam kamar ini tersedia meja rias, tempat tidur dan toilet.
Marina berusaha keras supaya waktu break shooting ini bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mengembalikan mood Savannah. Pertemuan tadi pagi dengan Rivario sudah mengganggu konsentrasi Savannah. Walau bilang tidak apa-apa, Marina tahu Savannah masih memikirkan tawaran untuk ber-acting dengan Dito. Gara-gara kurang konsentrasi, Savannah harus take ulang adegan yang diperankannya berkali-kali. Padahal adegan itu tidak begitu sulit. Savannah hanya diminta memerankan aktivitas sehari-hari seorang istri. Ada adegan menemani suaminya (dalam sinetron ini) sarapan, melepas suami pergi bekerja dan mengobrol di tempat tidur. Tidak ada adegan yang perlu menampilkan emosi lebih seperti menangis dan marah. Biasanya adegan-adegan seperti ini bisa Savannah lakukan hanya dalam satu atau dua kali take saja.
“Gue enggak tahu gimana caranya ngomong sama Dito, Na. Minta dia ikut shooting? Iklan sabun mandi? Aaahhh… gimana caranya?” Savannah bertopang dagu. “Enggak mungkin Dito mau.”
“Jadi…” Marina berkata pelan. Ragu. “Kita tolak saja tawaran iklan ini? Sasha bilang harus Dito yang berperan jadi suami. Orang advertising memang idenya ada-ada aja yah,” Marina jadi pusing. Di benaknyaterbayang tumpukan uang yang melayang pergi. Bagian Marina limabelas persen dari nilai setiap kontrak. Marina sudah bisa mengira-ngira berapa rupiah yang batal masuk kantongnya. Namun semua keputusan ada di tangan Savannah. Marina hanya bisa mendukung apapun keputusan yang diambil, walau sedih juga kalau tawaran menggiurkan ini ditolak.
“Enggak,” tangan Savanah mengepal. Dia menatap bayangannya sendiri dalam cermin. Matanya menyorot tajam dengan bibir membentuk garis tipis. “Gue harus dapat kontrak ini. Harus. Gila aja menolak tawaran jadi bintang iklan Jelita. Apa kata orang nanti. Apalagi kalau mereka tahu aku menolak karena Dito. Bisa rusak reputasiku.”
“Terus urusan Dito bagaimana?”
“Gue belum tahu sekarang,” Savannah berbalik, kini mereka berhadapan. “Rasanya gue harus coba ngomong sama dia.”
“Ya sih. Baiknya dicoba aja dulu. Siapa tahu kita lagi beruntung dan Dito mau diajak shooting.”
“Ah, tapi rasanya aneh banget deh. Lo kan tahu gue sudah lama enggak pernah ngobrol serius sama Dito. Bagaimana cara mulainya? Ada ide enggak lo? Pasti kaku deh gue.”
“Hmmm… gini aja,” Marina mendapat ide cemerlang. “Peran lo sekarang di sinetron ini kan jadi isteri yang baik. Nah, lo copy aja dialog yang kira-kira cocok buat membuka obrolan sama Dito.”
Sav“Benar juga ya. Lebih gampang kalau begitu.”
“Iya, biar enggak canggung, anggap aja lo lagi shooting sinetron.”