KALA CINTA

Yeni Lestari
Chapter #2

Dampit

Susi hilir mudik di rumah kontrakannya di pagi hari. Dipegangnya sebuah kalender meja dengan erat seolah kalender tersebut akan lari. Bibirnya berkomat kamit menghitung urutan tanggal yang berada di kalender itu.

“Sepertinya aku telat haid.” Gumam Susi. Ini sudah sebulan setelah pertemuannya dengan Richard. Mami meminta Susi untuk berlibur karena menurut wanita tua itu Susi patut beristirahat selama sebulan lebih dua minggu. “Harusnya aku haid awal bulan. Aku enggak pernah telat. Ini sudah masuk akhir bulan. Atau jangan-jangan.... “ matanya bergerak liar. Dia takut kejadian tidak diharapkannya akan terjadi.

Buru-buru dia menelepon Mami. Dering kedua, wanita tua itu mengangkat telepon Susi dengan nada heran, “ada apa Susi? Kamu libur saja. Nanti akan kukontak kamu kalau ada yang membutuhkan jasamu. Kamu itu ‘kan sekarang anak emasku.”

Ucapan tanpa jeda dari Mami membuat Susi hampir lupa dengan apa tujuan awal dia menelepon. “Mi, punya nomor kontak Richard?” tanya Susi tanpa basa-basi.

“Mami enggak punya. Dia datang ke sini selalu pakai orang suruhan. Memangnya ada apa?”

Ucapan terakhir Mami membuat Susi berpikir sejenak apa yang harus dia katakan pada Mami. Tidak mungkin dia mengatakan bahwa kemungkinan dirinya hamil. Mami bisa murka semurka-murkanya dan pasti mengatainya wanita terbodoh. Tidak mungkin dia meminta tanggung jawab pada Richard mengingat perjanjian kontrak bahwa wanita yang dikontrak tidak boleh menuntut apa pun pada orang yang menyewanya.

“Enggak. Cuma ada barang dia yang tertinggal.”

Terdengar tawa Mami di seberang sana. “Barang apa? Pakaian? Kamu pakai saja. Richard orang kaya. Dia bisa beli baju lagi nanti di Amerika sana.”

“Ya, Mi. Kalau begitu sampai ketemu lagi nanti.”

Susi menutup sambungan teleponnya. Diletakkan tapak tangannya diperutnya. Suatu kecerobohan yang dia lakukan lagi setelah dahulu dia pernah melakukannya. Dia tidak pernah belajar dari pengalaman yang pernah dia alami dahulu. Seharusnya pengalamannya dahulu menjadi acuannya ke depan. Namun dia tetap melakukan kesalahan lagi dengan mengikuti saran orang lain, akhirnya dia terpuruk. Seharusnya dia punya pendiriannya sendiri. Akibat mengikuti saran Mami mengenai pil KB itu, dia akhirnya seperti ini. Susi tidak pernah mau minum pil karena dia termasuk orang yang tidak rajin minum pil.

Susi menarik laci meja riasnya. Diambilnya alat tes kehamilan lalu menimang di tangannya. Tanpa alat tes kehamilan pun dia sudah tahu pula pada akhirnya. Namun demi mengobati rasa penasarannya, dia akan tetap melakukannya.

Susi masuk ke kamar mandi lalu buang air kecil di wadah bekas obat yang sengaja dia simpan dahulu untuk tes kehamilan ketika suaminya masih berlaku baik padanya. Dahulu, keinginannya untuk memiliki anak lagi setelah kepergian anaknya sangat menggebu. Melakukan segala cara agar dia bisa mengandung namun nihil.

Ditunggunya beberapa menit sebelum melihat garis yang berada di alat tes kehamilan itu. Setelah cukup, Susi melirik alat tes kehamilannya itu tanpa mau mengangkatnya. Dilihatnya dua garis menghiasi alat tes itu. Seketika dunianya runtuh. Bumi yang dia pijak bergoyang. Positif. Dia positif hamil. Sejak tadi dia berusaha meneguhkan hatinya bahwa dirinya tidak hamil namun kenyataannya berbeda.

Susi menangis sejadi-jadinya. Kesedihan melanda hatinya. Dia membayangkan wajah tua bapaknya dan wajah lugu adiknya. Bagaimana jadinya mereka jika dia mengalami hal serupa lagi. Apakah mereka akan tetap menerimanya setelah apa yang dia lakukan atau malah membuangnya?

Dengan ketakutan yang luar biasa, dia memberanikan diri untuk menelepon bapaknya. Pada dering ketiga, teleponnya diangkat langsung oleh bapaknya. Susi berusaha menahan isakannya namun tidak bisa. Tangisnya meluncur begitu saja. Membuat bapaknya khawatir.

“Pak, Susi hamil.”

Terdengar nada suara bentakan di seberang sana. Bapaknya yang sudah tahu bahwa suami Susi kabur, berasumsi bahwa Susi hamil dengan pria lain.

“Susi enggak pacaran sama pria lain, Pak.”

Dan Susi sudah tahu bahwa dunianya sudah tidak sama lagi seperti sebelumnya ketika dia beritahukan apa yang sesungguhnya terjadi nanti pada bapaknya.

***

Setelah dua minggu dia menimbang-nimbang apakah dia akan pulang ke kampung atau tidak, akhirnya Susi memilih pulang kampung. Siap menerima cacian bapaknya. Awal kedatangannya ke kampung disambut pelukan hangat Sisi namun setelah dia menceritakan pada Sisi apa yang terjadi, Sisi berubah memusuhinya.

Susi masih ingat dengan apa yang Sisi katakan padanya ketika dia baru pulang kampung; “Walaupun cuma istri kontrak, tapi orang bule itu suka sama mba Susi. Dari cerita mba, Sisi saja tau kok kalau orang bule itu cinta mati sama mba. Sisi benar-benar enggak habis pikir sama jalan pikiran mba Susi. Mba betul-betul enggak waras.”

Sisi bahkan saat ini enggan melihat wajahnya. Sisi mengatainya perebut lelaki orang. Perkataan Sisi membuat Susi bersedih. Tidak pernah terlintas sedikitpun dalam pikirannya untuk merebut suami orang. Dia tidak pernah mau merebut kebahagiaan keluarga lain. Bahkan pernyataan cinta Richard tidak pernah Susi tanggapi.

“Duh, Gusti. Anakku kenapa seperti ini? Apa salahku, Gusti?”

Bapak meratap di kursinya. Kedua bola matanya memerah menahan tangis yang akan tumpah. Susi hanya menunduk, bersimpuh di kaki bapak. Dia tidak berani menatap bapaknya. Ini adalah hari kedua dia berada di kampung, dan Susi berencana tidak akan berlama-lama di kampung. Mungkin dua minggu saja setelah itu dia akan bekerja lagi di tempat Mami.

“Keluar dari pekerjaanmu, Nduk. Bapak enggak mau kamu kerja seperti itu.”

Mendengar ucapan bapak yang seperti itu, serta merta Susi mendongak. Dilihatnya mata bapak yang sudah berair. Susi ingin membantah ucapan bapak jika dirinya keluar dari pekerjaan itu, mau makan apa dia dan keluarganya nanti.

“Bapak enggak mau makan uang haram.” Ucapan bapak seolah menohok hatinya. membuat batinnya terluka. “Lebih baik bapak jadi pemulung daripada makan uangmu.”

“Tapi, Pak—”

“Enggak ada bantahan, Susi. Kamu nurut orang tua. Kalau kamu nurut orang tua, hidup kamu pasti terarah, banyak berkah. Selama ini kamu enggak nurut orang tua, jadi hidup kamu susah. Kamu enggak bisa jadi contoh kakak yang baik buat Sisi. Bapak kecewa.”

“Kalau Susi keluar, Susi kerja apa, Pak?”

Bapak menatap kesal Susi. Dikepalkannya kedua tangannya erat-erat berusaha menahan amarahnya agar dia tidak memukul Susi yang sedang hamil.

“Banyak kerjaan di sini.” Jawab bapak, “kamu bisa bantu bapak dagang atau jadi buruh tani di sawahnya pak Narto, atau kamu kerja jaga tokonya Pak Paiman yang di pinggir jalan besar sana itu. Uang yang diterima jadi buruh memang sedikit tetapi kalau kita kerjanya halal dan selalu bersyukur pasti berkah, Nduk.”

Susi tidak bisa membantah lagi. Percuma dia membantah jika pada akhirnya dia disebut sebagai anak durhaka oleh bapak.

Lihat selengkapnya