KALA CINTA

Yeni Lestari
Chapter #3

Buah Hati

Susi melamun memerhatikan dagangannya yang masih banyak. Sebagian penjual di pasar sudah merapikan barang dagangan mereka di siang hari yang cukup terik. Rata-rata penjualan mereka sudah hampir habis. Setiap hari dagangannya tidak habis walau dia menjualnya di rumah juga.

“Enggak perlu sedih, mba. Memang dagangan bapak tiap hari juga enggak habis. Sudah biasa. Yang penting bisa buat belanja dagangan lagi besok dan bisa makan.” Sisi menjawab isi pikiran Susi yang pasti tidak jauh dari uang. 

Susi mengangguk tanpa melihat ke arah Sisi yang duduk di sebelahnya. Sikap Sisi lambat laun padanya sudah mulai membaik walaupun kata-kata yang dikeluarkan Sisi masih sedikit 'nyelekit'.

“Mba bukan mikir dagangan.” kilahnya.

“Terus?”

Memang benar Susi sedang memikirkan barang dagangan yang masih tersisa banyak namun dia gengsi untuk mengakuinya pada Sisi. Dia tidak ingin Sisi mengeluarkan kata menyakitkan lagi untuknya. Dia ingin Sisi berlaku baik padanya seperti dulu. Susi putar otak demi menjawab pertanyaan Sisi, dan seketika sebuah pemecahan masalah keuangan muncul dalam benaknya.

“Mba lagi mikir tawaran mba Parmi.”

Terdengar decakan Sisi lalu gadis itu menjawab, “mba mau jadi TKI ke luar negeri? terus anak mba siapa yang ngurus? Aku? aku enggak mau ngurus anak mba. Bapak juga pasti enggak mau.”

Susi menoleh menatap Sisi. Ucapan Sisi yang ini sungguh menyakitkan hati. Benar-benar menyakitkan hatinya. Susi menarik nafas dalam, berusaha menahan amarahnya yang membludak. “jangan khawatir. Anak nanti mba titip ke panti asuhan atau mba jual ke orang yang butuh anak. Simpel. Uangnya nanti bisa buat—”

“Mba!” Sisi sudah berdiri dari duduknya, menatap sengit Susi. Sisi terkejut dengan apa yang Susi katakan. “Kenapa cuma uang yang ada dipikiran mba Susi?” Menurutnya, dalam otak kakaknya itu hanya uang semata. Sisi mengatakan demikian karena dia berharap kakaknya itu mengurungkan niatnya pergi menjadi TKI.

Susi memandang Sisi dengan tatapan yang tidak kalah kesal. “Terus maunya kamu apa? kamu ‘kan enggak mau dititipi anaknya mba. Ya sudah lebih baik mba kasih ke orang yang butuh anak.”

Sisi tidak mengatakan apapun lagi dan memilih diam setelah mendengar perkataan sakit hati Susi. Sesungguhnya Susi benci benar mengucapkan kalimat itu. Kalimat itu keluar begitu saja dari bibirnya karena dia merasa Sisi masih membencinya. Susi tidak pernah ingin memberikan anaknya kepada orang lain. Namun jika ekonomi kurang mendukung, Susi tidak bisa mengelak lagi. Dia lebih baik memberikan anaknya kepada orang lain agar sang anak bisa hidup layak dan tidak mengalami gizi buruk. Dahulu, Dia sering mengumpat pada orang-orang yang membuang anak mereka begitu saja padahal masih banyak di luar sana orang yang berjuang puluhan tahun agar memiliki anak walau hanya satu, dan hanya karena kehadiran buah hati, terkadang rumah tangga bisa goyah.

Susi belum mengatakan yang sesungguhnya pada bapak dan Sisi mengenai dia yang memiliki bayi dampit. Susi tinggal di desa yang masih mempercayai hal-hal yang berbau klenik. Salah satunya adalah kelahiran bayi dampit. Jika ada orang tua yang memiliki bayi dampit atau dalam arti umumnya adalah bayi dengan jenis kelamin berbeda, harus dipisahkan. Salah satu bayi itu harus dirawat oleh orang lain hingga mereka dewasa dan setelah dewasa, mereka akan dijodohkan satu sama lain karena mereka sudah membawa jodohnya sendiri. Jika tidak mengindahkan hal itu maka desa tersebut akan mendapatkan celaka.

Kejadian itu sudah pernah terjadi pada tetangga bapak. Anak kembar dampit dipisahkan. Si anak laki-laki dibesarkan oleh orang lain kemudian kembali dipertemukan ketika mereka dewasa lalu dinikahkan.

Hal yang berbau mitos sudah mendarah daging dalam masyarakat dan dia tidak bisa melawan sesuatu yang sudah mendarah daging. Susi hanya pasrah jika waktunya tiba nanti. 

***

Sesuatu yang dinantikan akhirnya terlaksana. Susi melahirkan secara operasi caesar. Proses tersebut dilakukan karena kedua anaknya dalam posisi mengunci dan bidan menyarankan Susi agar melahirkan secara operasi. Beruntung dia memiliki asuransi kesehatan dari pemerintah daerah jadi mengenai biaya persalinan tidak harus dia pikirkan.

Bapak datang menemuinya sehari setelah dia melahirnya. Susi memandang wajah bapak yang sepertinya memendam kesal.

“Pak, bapak sehat?” Susi menyapa bapak. Mencoba membuat bapak luluh.

“Nduk, kenapa kamu enggak bilang kalau anakmu kembar?”

Susi menggigit bibir bawahnya. Apakah dia harus berbohong atau mengatakan yang sesungguhnya?

“Posisi janinnya enggak kelihatan kembar, pak, sewaktu di USG.” Akhirnya dia memilih berbohong. Dia tahu, jika sekali seseorang berbohong, selanjutnya akan terus berbohong. Karena berbohong seperti sebuah kebiasaan yang tidak bisa dihilangkan.

Bapak mengangguk. “Tetapi kenapa warna kulitnya beda?”

“Karena mereka beda ras warna kulit, pak. Bapak kandungnya orang kulit hitam.” Kali ini Susi dapat menjelaskan kepada bapaknya.

Sebelumnya dia juga terkejut melihat kedua anaknya berbeda warna kulit ketika dokter memberikan mereka padanya setelah dilahirkan. Tetapi setelah dokter menjelas padanya mengenai kemungkinan kromosom mereka, Susi paham.

“Mba Susi kualat itu.” Celetukan Sisi yang baru saja datang membuat bapak serta merta menjitak kepala Sisi.

“Enggak boleh kamu bilang begitu.” Tegur bapak. Susi hanya tersenyum. Dia mencoba terbiasa dengan ucapan pedas adiknya. Bapak kembali menatap Susi lalu bertanya, “kapan kamu dibolehkan pulang, Nduk?”

“Dua hari lagi saya boleh pulang, pak.” Bapak mengangguk namun terlihat ragu. yang membuat Susi heran. “Ada apa, pak?” tanya Susi lagi.

Lihat selengkapnya