Susi menyibak tirai jendela ruang tamu. Diintipnya halaman rumah kontrakannya yang sempit itu dengan cemas. Suaminya belum pulang, sudah hampir dua bulan lamanya. Entah ke mana pergi suaminya itu. Susi berharap suaminya tidak mengalami kejadian buruk. Ini kali kedua suaminya tidak pulang, namun ini yang paling lama. Beberapa bulan lalu suaminya yang tidak pulang selama dua minggu itu membuatnya sangat cemas. Ketika suaminya membuka pintu rumah saat itu, Susi serta merta menangis keras yang malah dijawab gertakan oleh suaminya.
“Aku khawatir. Apa itu enggak boleh?” Susi tersedu kala itu.
“Enggak perlu kamu sampai segitunya. Aku cari kerjaan.” Suaminya membalas ucapan Susi dengan nada tinggi. Susi tidak mengatakan apapun lagi. Dia melakukan tugasnya sebagai seorang istri. Menyiapkan makan malam seadanya lalu menyiapkan air hangat untuk mandi kemudian merapikan kasur untuk tidur mereka.
Susi menghela nafas mengingat kejadian itu. Berbagai macam perasaan berkecamuk di dalam hatinya. Susi tidak mau berfikir macam-macam mengenai ke mana suaminya tidak pulang selama dua bulan.
Bulan kemarin dia memutuskan untuk mencari pekerjaan dengan alasan takut jika suaminya tidak pulang lagi, dia sudah punya pegangan uang untuk makan. Tuntutan hidup di kota besar seperti Jakarta ini membuat dia harus putar otak. Sembari mencari kerja, dia menjadi buruh cuci pakaian orang-orang dengan hasil yang tidak seberapa asalkan dia bisa makan. Bermodalkan ijazah SD, Susi pontang-panting mencari pekerjaan. Sayangnya, minimal ijazah yang harus dimiliki adalah SMA. Bahkan ada tempat kerja yang meminta ijazah minimal D3. Pandangan mencemeeh pernah dia dapat pada suatu tempat kerja bahwa ijazah yang dia punya tidak akan membuat dia mendapatkan pekerjaan.
Susi ingin sekali mengenyam pendidikan tinggi. Jika bukan karena nafsu yang membutakan matanya, mungkin dia saat ini sudah kerja kantoran. Namun kenyataan berkata lain. Takdir tidak bisa diubah. Rencana matang yang sudah disusun rapi hancur berantakan hanya karena nafsu sesaat. Karena nafsu, agama yang ditanamkan orangtuanya sejak lahir seperti angin lalu. Susi dan suaminya menikah di usia muda di kala mereka duduk di bangku SMP. Mereka menikah karena janin yang tumbuh di rahim Susi dengan tidak disangka. Sempat berusaha digugurkan beberapa kali, si jabang bayi malah kuat hingga melahirkan. Namun kondisi bayi yang dilahirkan Susi mengalami masalah yang sangat serius hingga akhirnya tidak tertolong karena biaya rumah sakit yang tidak terkira. Ada beberapa rumah sakit yang memang mendahulukan keselamatan dari pada uang. Namun ada pula rumah sakit yang membutuhkan uang terlebih dahulu dari pada keselamatan yang membuat hal tersebut sangat sulit bagi masyarakat miskin seperti Susi. Kartu jaminan kesehatan yang dia punya pun tidak membantu banyak. Ada beberapa biaya yang tidak tertutupi oleh kartu kesehatan yang dia punya. Jika mengingat hal itu membuat Susi sangat sedih.
Setelah berhari-hari dia mencari kerja, dia bertemu dengan seorang kawan lama bernama Mira ketika dia berjalan di depan sebuah restoran mahal. Penampilan Mira sungguh berbeda dari yang pernah dia lihat dulu. Mira yang sekarang berpenampilan bak orang berduit.
“Susi, ‘kan?” sapa Mira padanya. Susi mengangguk. “Apa kabar kamu? Lagi apa di sini?”
“Kabarku baik.” Balas Susi. “Aku lagi cari kerja.”
Mira mengangguk lalu tangannya terulur. “Coba kulihat lamaran kerjamu. Siapa tau aku bisa bantu.”
Dengan senang hati Susi menyodorkan map biru yang hanya berisi ijazah SD dan beberapa lembar fotokopiannya. Susi tidak tahu bagaimana caranya menulis lamaran pekerjaan jadi hanya beberapa fotokopian ijazah saja yang dia siapkan. Mira mengerucutkan bibir ketika melihat isi map yang diberikan Susi.
“Kalau begitu, kamu mau kerja sama aku?” tanya Mira kemudian menyerahkan kembali map biru itu pada Susi.
Pikiran Susi melayang pada ucapan cemeeh salah satu karyawan HRD yang Susi temui. “Kerja apa? ijazah SD bisa kerja?”
Mira mengibaskan tangannya. “Kerjaanku enggak perlu ijazah.”
Tanpa pikir panjang, Susi menyetujui apa yang dikatakan Mira. Apapun itu asal dia bisa makan. Syukur-syukur dia mengirim uang pada adiknya dan juga ayahnya yang berada di kampung.
Susi di bawa oleh Mira menggunakan mobil berwarna putih. Sekilas Susi membaca nama mobil itu, Avanza. Susi mengamati sekitar. Banyak sekali tempat-tempat yang tidak dia kenal. Mira membawanya ke tempat yang jaraknya lumayan jauh dari kota.
“Ini mobil hasil kerjaku, Sus.” Ucap Mira ketika mereka hampir sampai di tempat tujuan.
Susi tersenyum mendengar ucapan Mira. Semoga dia bisa seperti Mira. Bisa membeli mobil atau rumah. “Susah, enggak, sih kerjaan kamu itu?”
Mira menggeleng lalu melepas kacamata hitam yang dipakainya. “Enggak kok. Ini kerjaan paling gampang.”
Susi semakin penasaran. Pekerjaan apa yang dilakukan seorang lulusan SD seperti dirinya ini. Mira mungkin sekolah sudah mencapai perguruan tinggi hingga bisa membeli segalanya.
“Ah, aku cuma lulusan SD. Beda lah sama kamu yang kuliah.”
Mira tertawa pada ucapan Susi. “Aku ini cuma lulusan SMP.”
Susi terhenyak. Lulusan SMP bisa mempunyai segalanya? Pekerjaan apa itu? “Boleh enggak aku tanya sekarang? Aku kebagian kerja apa?”
Mira membelokkan mobilnya ke sebuah rumah bercat oranye terang lalu mematikan mesin mobil sebelum menjawab terus terang, “menjadi istri kontrak orang asing.”
***
Hal yang sudah diputuskan tidak dapat diubah lagi. Susi sudah memutuskan apa yang harus dia hadapi. Dia perlu uang dalam waktu singkat dan hanya pekerjaan inilah yang dia butuhkan. Suami yang diharapkannya tidak kunjung pulang. Di setiap denyut nadinya, Susi berharap suaminya sehat.
Kring... Kring... Kring...
Bunyi ponsel lama keluaran Nokia yang dia beli bekas, berbunyi di atas meja ruang tamu yang hanya beralaskan tikar biasa. Tidak ada yang tahu nomor Susi selain Mira, adiknya Susi dan Mami. Diraihnya ponsel itu, Susi tersenyum ketika tahu siapa yang meneleponnya.
“Iya, Mi?”
Susi mendengarkan dengan saksama penjelasan dari Mami—sang pemilik pekerjaan yang Susi geluti beberapa minggu ini. Susi mengangguk samar pada ucapan Mami. “Terima kasih, Mi.” Ucap Susi sebelum mengakhiri pembicaraan mereka.
Tidak berapa lama kemudian ponselnya kembali berbunyi. Adiknya menelepon. Pasti ada hal penting yang akan diminta oleh adiknya. “Ya, ada apa, Sisi?”