Aku tak pernah ingat bagaimana kita berkenalan secara resmi. Tahu-tahu kita semua sudah saling membaur dengan teman-teman lainnya. Ternyata kamu orang yang menyenangkan. Selain wajahmu yang tampan, kamu pintar sekali membuat orang lain tertawa. Terutama aku yang diam-diam mengagumimu.
“Namaku Aaron, Vir. Dia itu Stevan!” protesmu saat aku masih salah menyebut namamu. Kulihat Stevan hanya tertawa.
“Maaf, maaf!” ujarku tidak enak. “Habisnya tinggi kalian sama, dilihat dari belakang udah kayak kembar aja!” Aku masih berusaha membela diri.
“Jelas bedalah, Vir!” Kamu masih memprotesku. “Lihat nih, mata kami udah beda lho! Wajah kami apalagi!” Kamu mensejajarkan wajah dengan Stevan.
Aku memandangmu dan Stevan bergantian. Berusaha mengingat-ingat nama yang benar untuk kedua wajah itu. Memang jelas sangat berbeda. Aku tertawa ketika menyadarinya.
“Aaron.” Tanganku menunjuk dirimu. “Stevan.” Aku memutar kepalaku pada Stevan yang mengangguk.
“Sip! Udah benar!” katamu sambil mengacungkan jempol. “Jangan lupa ya, namaku Aaron!” Kamu menambahkan sebelum beranjak pergi bersama Stevan.
Aku memandang sosokmu yang berjalan di lorong kelas menuju tangga sebelum Astrid menghampiriku. “Kenapa, Vir?” tanyanya.
“Ternyata dua anak itu memang berbeda ya,” jawabku.
“Ya jelaslah! Memang sama dari mananya?” sahut Astrid.
Aku tertawa lagi. Untuk saat ini aku masih menyimpan rapat-rapat perasaan kagumku yang telah berubah menjadi suka. Aku masih belum siap mengatakannya bahkan pada sahabatku sendiri.