Kala Karma Bertamu

Vania Faustin
Chapter #1

ANAK YANG MALANG

Di sudut malam yang sunyi, Audrey masih duduk di depan laptopnya. Jari-jarinya menari di atas keyboard, sementara secangkir kopi yang telah dingin setia menemani. Ia bukan pecinta kopi sejati, tapi malam-malam panjang membuatnya harus berdamai dengan pahitnya kafein.

“Mami belum tidur?”

Sebuah suara mengalun pelan dari belakang. Glenn, anak laki-lakinya yang kini beranjak dewasa, melangkah mendekat dengan raut wajah mengantuk.

Audrey menoleh, tersenyum kecil. “Masih banyak kerjaan.”

Glenn menguap panjang, lalu menuju dapur. Tangan kurusnya meraih setoples cookies, camilan kesukaannya sejak kecil.

“Besok Mami jadi ke sekolah, kan?” tanyanya, suaranya setengah berharap.

Audrey terdiam sejenak, menimbang jawabannya. Lalu, dengan suara pelan, ia berkata, “Maaf, sayang. Mami tadi sore dikabarin kalau klien dari Jepang mau datang besok.”

Ekspresi Glenn berubah. Seakan sudah terbiasa dengan jawaban itu, ia hanya tersenyum tipis sebelum berbalik pergi.

Audrey menatap punggung putranya yang perlahan menghilang di ujung koridor. Ada sesuatu yang menusuk dadanya—seperti kenangan yang berbisik pelan, mengingatkannya akan janji-janji kecil yang tak pernah sempat ia tepati.

Malam semakin larut. Audrey menghela napas panjang, merapikan rambutnya yang mulai kusut. Kopinya hampir habis, dan kantuk mulai merayap ke sudut matanya.

Ia melirik layar ponselnya. Pukul dua pagi. Dalam diam, ia melangkah menuju kamar. Namun, sesampainya di sana, yang menyambutnya hanya keheningan.

Ranjang di sisi lain kosong.

Audrey mendesah. “Lagi-lagi sendiri,” bisiknya. Nino, suaminya, sedang bertugas di rumah sakit. Seperti malam-malam sebelumnya, Audrey harus tidur sendiri. Sebelum berbaring, ia mengirim pesan singkat. “Aku tidur dulu. Good night, Sayang.”

Tak butuh waktu lama, balasan datang. “Good night, Love.” Diikuti sebuah foto selfie Nino dengan senyum khasnya. Audrey tersenyum tipis, menatap layar ponselnya lebih lama dari yang seharusnya.

Malam ini terasa lebih dingin. Ia menarik selimut, memejamkan mata, dan membiarkan pikirannya tenggelam dalam lelah yang tak hanya berasal dari tubuhnya—tapi juga hatinya.

***

 

Pagi menjalar perlahan, membawa sinar matahari yang menembus celah jendela kelas. Glenn duduk di bangku paling belakang, matanya menatap kosong ke luar, seakan angin pagi membawa pikirannya menjauh dari ruangan itu. Sampai sebuah suara memanggil namanya.

“Glenn!”

Seorang wanita berhijab navy berdiri di sudut ruangan, tersenyum lembut ke arahnya. Glenn mengenalnya—Tante Metta, sahabat ibunya sejak lama. Dengan malas, Glenn berdiri dan berjalan menghampirinya.

“Nanti Tante yang ambil rapor kamu, ya,” katanya ramah. “Mami sudah titip pesan ke Tante.”

Glenn mengangguk tanpa ekspresi. “Oke, Tante.”

Ia lalu melangkah keluar kelas, disusul oleh Abil yang sudah menunggunya di depan pintu. Abil adalah sahabatnya sejak lama. Mereka tumbuh bersama, begitupun dengan Artur.

“Sebats dulu, yuk,” ajak Glenn santai.

Abil hanya mengangkat bahu, mengikutinya berjalan ke belakang kantin—tempat rahasia mereka, tempat di mana kebebasan terasa lebih nyata.

Glenn menyalakan rokoknya, menghembuskan asap perlahan ke udara. Ada sesuatu yang aneh tentang kebiasaan ini—sesuatu yang tidak ia suka, tapi tidak bisa ia hentikan.

“Dari mana lo?” suara lain tiba-tiba muncul dari belakang. Glenn menoleh dan menemukan Artur berdiri di sana, matanya berkilat penuh rasa puas.

“Habis godain si Drei,” katanya sambil terkekeh.

Glenn mengernyit. “Gak kasihan lo sama anak desa kayak dia?”

Artur hanya tertawa, ringan seperti angin. “Di zaman sekarang? Gak ada yang benar-benar polos, Glenn.”

Abil yang awalnya diam kini mulai tertarik dengan pembicaraan mereka. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan.

“Emang dia gak sepolos itu, Tur?” bisiknya pelan.

Artur menyeringai. “Gak tahu sih. But, Who care?”

Abil tertawa kecil. “Lo mah semua cewek juga lo suka.”

“Besok gue mau ajak dia ngedate,” Artur berkata santai, “abis itu….” Ia tidak melanjutkan kata-katanya, hanya tertawa kecil penuh arti.

Glenn tetap diam. Ia bukan bagian dari mereka—setidaknya, itulah yang ingin ia percayai. Karena kenyataannya, di balik rokok yang mengepul dan candaan tanpa arah, ada sesuatu yang kosong di dalam dirinya.

Ponselnya tiba-tiba bergetar, mengalihkan pikirannya sejenak. Ada pesan masuk dari Metta—ibunya Abil.

Glenn mematikan rokoknya dan berdiri. “Acaranya udah beres.”

“Nyantai dulu, kali,” protes Abil. Glenn hanya mengangkat ponselnya, menunjukkan pesan itu. “Nih, nyokap lo udah nyuruh kita ke sana.”

Lihat selengkapnya