Audrey dan Nino ingin menebus sesuatu—sebuah penyesalan yang selama ini menggantung di antara mereka dan putra tunggal mereka. Mereka tahu, akhir-akhir ini mereka terlalu keras pada Glenn. Terutama Audrey, yang nyaris tak memberinya ruang bernapas menjelang ujian kelulusan.
Glenn tak diizinkan keluar kecuali saat akhir pekan, seolah dunia luar bisa mencuri fokusnya dalam sekejap. Tapi namanya juga anak-anak—selalu ada celah untuk lolos, selalu ada alasan untuk sekadar kabur dan menghabiskan waktu bersama teman-temannya.
Namun, yang tak pernah mereka sadari adalah bahwa Glenn sebenarnya bukan tipe yang menikmati hingar-bingar. Tidak seperti kebanyakan remaja seusianya yang menganggap pesta sebagai ajang kebebasan, Glenn justru lebih sering menarik diri. Ia lebih mirip ibunya—menyukai ketenangan, menghargai sunyi yang berbicara lebih dalam daripada sekadar suara musik yang membahana.
Pesta bukan dunianya. Hanya sesekali ia hadir, itupun jika Artur dan Abil menyeretnya paksa. Yang benar-benar membuatnya bahagia bukanlah lampu-lampu sorot atau suara tawa yang bercampur dentuman musik, melainkan tempat-tempat yang memberi kedamaian—gunung yang sejuk, pantai yang luas, tempat di mana ia bisa bernapas tanpa batas.
Tapi kali ini, Glenn menerimanya dengan lapang dada. Tawaran Audrey dan Nino untuk mengadakan pesta di villa mereka di puncak tidak lagi terasa seperti sekadar upaya menebus kesalahan, tapi sebuah kesempatan untuk merasakan sedikit kebebasan yang selama ini dirindukannya.
Di sana, ia bisa bersantai tanpa aturan, menyesap minuman dengan teman-temannya tanpa harus mengendap-endap. Suasana villa yang dingin dan menenangkan menjadi alasan lain yang membuatnya tak ragu menerima tawaran itu. Glenn telah mengundang beberapa teman—mungkin sekitar dua belas orang. Dan di antara mereka, ada seseorang yang membuat detak jantungnya melambat sekaligus berdebar.
Malam itu dingin. Tapi di dalam villa, kehangatan terasa semu—ditopang oleh alkohol, tawa yang berlebihan, serta suara musik yang berdentum di dinding-dinding kaca.
Glenn bersandar di sudut ruangan, mengamati pesta yang, sejujurnya, tidak benar-benar ia nikmati. Di tengah semua itu ia memperhatikan hiruk-pikuk di sekelilingnya dengan ekspresi datar.
Ia melihat seorang gadis berdiri di ambang pintu bersama Artur, mengenakan kemeja kotak-kotak yang sama sekali tidak cocok untuk pesta ini. Dengan wajah penuh kebingungan, Drei menatap ruangan yang terasa begitu asing baginya.
Abil, yang duduk di sofa, melirik Drei dan tertawa kecil. “Lo mau party atau mau kerja kelompok?” sindirnya.
Artur, dengan ekspresi licik yang nyaris tak terlihat, merangkul bahu Drei. “Tenang, nanti juga betah.”
Drei menunduk, merasa malu. Ia tahu dirinya tidak seperti mereka. Ia bukan bagian dari dunia ini.
Glenn mendekati Artur, menatapnya tajam. “Lo kenapa bawa dia?”
Artur hanya menyeringai. “Gak apa-apa, lah,” katanya santai.
Glenn menghela napas panjang. Pesta ini bukan tempat untuk Drei, dan ia tahu itu. Tapi sebelum ia sempat mengatakan sesuatu lagi, Artur berbisik, “Bajunya gak cocok, kan?”
Glenn diam. Lalu, ia menyadari sesuatu. Jika Drei masih berpakaian seperti itu, ia hanya akan menjadi bahan tertawaan. Dan dalam keadaan seperti ini, hal-hal buruk bisa saja terjadi padanya. Jadi, Glenn mencoba mencari cara agar Drei mau mengganti bajunya.
Ia melirik minumannya yang tersisa, lalu dengan gerakan cepat, menumpahkannya ke baju Drei. “Aduh, sorry,” katanya tanpa ekspresi.
Drei terkejut. Ia menatap noda di bajunya yang sekarang basah dan lengket. Artur, menangkap momen ini, segera menimpali, “Baju-baju Tante Drey masih ada di sini gak, Glenn?”
Glenn mengangguk singkat. “Iya. Lo bisa pinjam baju nyokap gue, Drei.”
Drei ragu sejenak, tapi saat ia melihat orang-orang mulai memperhatikannya, wajahnya memerah. “Ya udah,” ia pun setuju.
Glenn mengantar Drei ke kamar di lantai atas, di mana lemari Audrey berada. Ia membuka lemari dan mengeluarkan gaun hitam sederhana yang terlihat jauh lebih cocok untuk pesta ini.
“Ini aja,” katanya, menyerahkan gaun itu ke Drei.
Drei menatap pakaian itu, lalu menatap Glenn. “Beneran boleh?”
Glenn mengangguk tanpa pikir panjang. “Gak masalah.”
Drei menerima pakaian itu dengan hati berdebar. Ada sesuatu yang berbeda dalam dadanya saat Glenn memberikannya baju itu. Seolah-olah, Glenn peduli padanya. Seolah-olah, Glenn menginginkannya di sini. Dan saat itu, Drei merasa ada harapan.
Drei menatap dirinya di cermin besar dalam kamar. Gaun hitam yang diberikan Glenn membalut tubuhnya dengan sempurna—jauh berbeda dari kemeja kotak-kotak yang tadi membuatnya merasa asing di pesta ini.
Ia menyentuh kain lembut itu perlahan, jantungnya berdegup tak karuan. Glenn memilihkan ini untuknya. Glenn peduli.
Drei tersenyum kecil pada bayangannya sendiri. Malam ini, ia tidak ingin lagi merasa seperti orang luar. Malam ini, ia ingin menjadi bagian dari dunia Glenn. Untuk pertama kalinya, Drei merasa sebanding dengan teman-temannya. Ia merasa bisa berdiri sejajar dengan mereka.
Di lantai bawah, pesta masih berlangsung. Musik tetap menghentak, tawa masih bersahut-sahutan, dan aroma alkohol bercampur parfum memenuhi udara. Drei turun perlahan, tatapan beberapa orang segera tertuju padanya. Bahkan Artur pun meliriknya dari kejauhan sambil bersiul kecil.
Namun, perhatian Drei hanya tertuju pada satu orang; Glenn. Pria itu berdiri di balkon belakang, dengan pemandangan taman di belakangnya. Angin malam berembus lembut, memainkan helaian rambutnya yang sedikit berantakan.
Drei hampir saja melangkah mendekat, sampai ia melihat Amanda datang menghampiri Glenn lebih dulu. Drei langsung menghentikan langkahnya. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat Amanda menyentuh lengan Glenn, lalu mengatakan sesuatu yang membuat Glenn tersenyum.
Senyum itu… bukanlah senyum yang diberikan Glenn kepada siapa pun. Itu adalah senyum yang hanya bisa didapatkan oleh Amanda.
Drei tetap di tempatnya, jantungnya berdebar lebih kencang—bukan karena senang, tapi karena ada sesuatu yang mulai terasa salah.
Lalu, ia menyaksikan momen yang menghancurkan semuanya. Glenn menatap Amanda sejenak, lalu mendekat. Jarak di antara mereka semakin kecil.
Lalu…
Bibinya menyentuh bibir Amanda. Dan dalam satu gerakan lembut, Glenn menciumnya.
Saat bibir mereka bertemu, Glenn merasakan sesuatu yang selalu terasa benar saat ia bersama Amanda. Tidak ada kebingungan. Tidak ada ragu. Hanya mereka berdua, dalam keheningan malam yang terasa abadi.
Amanda memejamkan mata, membiarkan sentuhan Glenn menuntunnya. Jari-jarinya terangkat, menyentuh rahang Glenn dengan lembut, seolah ingin memastikan bahwa ini nyata. Glenn memperdalam ciumannya, menarik Amanda lebih dekat hingga ia bisa merasakan detak jantung gadis itu yang berdebar di dadanya.
Angin malam berembus pelan, menyapu rambut Amanda ke belakang, membuatnya terlihat lebih indah di bawah cahaya bulan. Saat Glenn menarik diri perlahan, ia menatap Amanda lekat-lekat. Amanda membuka matanya perlahan, bibirnya masih sedikit terbuka, napasnya hangat di antara mereka.
Glenn tersenyum. “Udah lama gak gini.”