Rahasia itu menjadi belenggu. Mengikat erat dalam dada, menyesakkan, tetapi tidak bisa dilepaskan. Glenn dan Citra berhasil meyakinkan Drei untuk diam, untuk tidak mengungkit apa yang telah terjadi, bahkan pada keluarganya sendiri.
“Semua ada jalan keluarnya,” kata Glenn.
Drei ingin percaya itu. Ia ingin percaya bahwa waktu akan menyembuhkan segalanya. Bahwa jika tidak ada yang tahu, maka tidak ada yang perlu diingat.
Tapi malam-malamnya menjadi sangat panjang. Mimpi buruk datang seperti ombak yang tak pernah surut. Setiap kali ia memejamkan mata, kejadian itu datang kembali, merayap di benaknya, meninggalkannya dengan rasa jijik pada dirinya sendiri.
Ia pernah berpikir untuk mengakhiri semuanya. Berdiri di tepi balkon, membayangkan bagaimana rasanya terbang dan lari dari kenyataan. Tapi, setiap pagi, ketika melihat ibunya tersenyum sambil menyajikan teh hangat… Drei tahu, ia harus tetap bertahan.
Namun, bertahan bukan berarti hidup. Dan ia sadar, sejak malam itu, ia tidak lagi benar-benar hidup.
Artur dan Abil mengiriminya pesan berkali-kali. Semua berisi permintaan maaf yang hampa. Drei tidak membutuhkannya. Karena tidak ada kata-kata yang bisa menghapus apa yang telah mereka lakukan.
Sementara itu, ibunya—Rosa—mulai menyadari perubahannya. Putrinya yang dulu ceria, yang selalu berbicara tanpa henti tentang mimpinya, kini berubah menjadi sosok yang pendiam dan asing.
Drei menghabiskan lebih banyak waktu di kamarnya. Musik diputar keras, bukan untuk menghibur, tetapi untuk menenggelamkan suara di kepalanya.
Tapi Rosa adalah seorang ibu. Dan firasat seorang ibu tidak pernah salah.
Ketukan di pintu membuat Drei tersentak. “Iya, bentar!” suaranya nyaris bergetar.
Saat pintu terbuka, Rosa berdiri di sana. Matanya hangat, tetapi menyiratkan kecemasan. “Seharian kok ngurung diri di kamar terus, Nduk?”
Drei berusaha tersenyum. “Ngantuk, Bu,” katanya ringan, berusaha terdengar normal.
Tapi Rosa tidak mudah dibohongi. “Drei jadi jarang keluar kamar sekarang,” suaranya pelan. “Jangan terlalu keras belajar. Sesekali, gak apa-apa kalau mau main keluar.”
Drei menunduk, mencari jawaban yang tak ada. “Lagi capek aja, Bu,” katanya akhirnya.
Rosa menatap putrinya lama, seolah mencoba membaca isi hatinya. Lalu, dengan lembut, ia mengelus pipi Drei.
“Kalau ada apa-apa, cerita sama Ibu, ya?”
Drei mengangguk. Tapi mereka berdua tahu kalau ada sesuatu yang tidak bisa dikatakan. Dan Rosa hanya bisa berharap, bahwa putrinya akan menemukan kekuatan untuk berbicara sebelum semuanya terlambat.
***
Masa lalu adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Ia tertulis dalam bayang-bayang, menunggu saat yang tepat untuk kembali menghantui.
“Kalau nanti aku gak lulus gimana, Pa?” suara Artur terdengar berat saat mengisi formulir kampus.
Di depannya, Randy—ayahnya—tersenyum, santai. “Kan ada Papa,” jawabnya. “Asal kamu mau kuliah di sana, sisanya Papa yang urus.”
Artur diam. Bukan karena ia berpikir. Tapi karena ia tahu, pendapatnya tidak pernah benar-benar berarti. Randy selalu ingin yang terbaik untuk Artur. Bukan karena ia benar-benar peduli. Tapi karena nama baik keluarga harus selalu dijaga. Artur tahu, kuliah di kampus ternama bukanlah pilihannya. Itu pilihan ayahnya.
Seperti banyak hal lain dalam hidupnya. Ia tumbuh tanpa ibu, tanpa kehangatan rumah. Dibesarkan oleh harta, oleh kekuasaan, oleh dunia yang mengajarkannya bahwa segala sesuatu bisa dibeli. Ia tidak tahu cara mencintai seseorang. Ia hanya tahu cara memilikinya. Dan itu selalu cukup.
Sampai malam itu...Drei. Sejak saat itu, untuk pertama kalinya, Artur kehilangan kendali.
Hari ini Artur menghabiskan waktu di rumah. Ia tidak ingin pergi ke mana pun. Tidak ingin bertemu siapa pun.