Kala Karma Bertamu

Vania Faustin
Chapter #4

TITIK BALIK HIDUP DREI

Drei meringkuk di tepi tempat tidur, kedua tangannya melingkari perutnya yang terasa melilit. Rasa mual naik ke tenggorokan, kepalanya terasa berputar. Ia ingin tidur, tetapi setiap kali ia memejamkan mata, yang ada hanyalah kekosongan yang berputar-putar di kepalanya.

Drei beranjak dan berdiri. Ia menatap bayangannya sendiri di cermin. Wajahnya pucat. Matanya cekung. Dan dalam tatapan itu, ia melihat seseorang yang hampir tidak ia kenali lagi.

Hari ini sudah hari keempat belas dan haidnya belum datang. Ia menatap alat tes kehamilan yang tergeletak di atas meja. Plastiknya masih tertutup rapat, seolah menunggu keberanian yang tidak kunjung datang.

Drei menarik napas panjang, mencoba membaca lagi petunjuk pemakaiannya. Satu garis atau dua garis. Seharusnya sesederhana itu. Tapi kenapa rasanya seperti sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya?

Dengan langkah pelan, ia keluar dari kamarnya, memastikan orang tuanya masih tertidur. Drei masuk ke kamar mandi, menutup pintunya rapat.

Tangannya gemetar saat membuka plastik test pack itu, tetapi ia tetap melakukannya. Setelah beberapa menit, ia menatap alat itu dengan napas tertahan.

Satu garis merah. Drei menghembuskan napas lega. Tapi sebelum ia bisa benar-benar merasa tenang, matanya menangkap sesuatu.

Garis kedua, samar. Hampir tidak terlihat.

Drei membeku, tangannya mencengkeram alat itu lebih erat. Apa maksudnya? Kenapa ada garis samar? Bukankah harusnya hanya ada satu atau dua garis yang jelas? Drei buru-buru merapikan semuanya, memasukkan test pack itu ke dalam sakunya.

Ia harus bertanya. Tapi pada siapa? Ia tidak bisa bertanya pada dokter. Ia tidak bisa bertanya pada orang tuanya. Drei kembali ke kamar, meraih ponselnya dengan tangan gemetar. Ada satu nama yang terlintas di kepalanya. Seseorang yang, entah bagaimana, masih memiliki sisa-sisa kepercayaan dalam dirinya.

Drei mengetik pesan dengan napas tertahan. “Aku boleh minta tolong?”

Pesan terkirim. Ia hanya bisa berharap Glenn akan menjawabnya.

 

***

 “Pi!”

Glenn melangkah cepat ke ruang kerja ayahnya, suaranya terdengar lebih mendesak dari biasanya. Nino menoleh sekilas dari balik bukunya, tersenyum tipis.

“Mami kamu pulang telat,” katanya santai.

Glenn mengangguk. “Iya, tadi udah chat.” Padahal bukan itu yang ingin ia bicarakan. Ada sesuatu yang lebih besar dan lebih berat.

Ia menarik napas dalam, mencoba menyusun kata-kata. “Pi, temen Glenn ada yang…” Kata-katanya menggantung. Bagaimana cara mengatakan ini? Bagaimana cara menjelaskan sesuatu yang bahkan belum bisa ia pahami sepenuhnya?

Lihat selengkapnya