Kala Karma Bertamu

Vania Faustin
Chapter #5

APA KAMU MENYESAL?

Sejak malam itu, ada sesuatu yang patah di antara mereka; Artur dan Abil. Dulu, mereka selalu bersama. Dulu, mereka tertawa dalam pesta yang sama, mabuk dalam kebebasan yang mereka anggap abadi. Tapi sekarang, mereka bahkan tidak bisa saling menatap tanpa menyalahkan satu sama lain.

Artur menggertakkan giginya. “Lo bawa duit berapa?” tanyanya, suaranya terdengar lebih dingin dari biasanya.

Abil menghela napas, lalu mengeluarkan sebuah amplop tebal dari sakunya. “Sepuluh juta.”

Artur menyeringai kecil—senyuman tanpa rasa. “Dua belas,” katanya, menepuk bungkusan yang ia bawa.

Mereka sama-sama tahu uang itu tidak akan menghapus apa yang telah terjadi. Tapi mereka tetap mencoba. Karena satu-satunya hal yang lebih buruk dari dosa adalah ketahuan telah melakukannya.

“Kayaknya cukup,” gumam Abil. “Kita bisa tambahin kalo perlu.” Artur hanya mengangguk. Ia tidak peduli berapa banyak yang harus ia keluarkan. Asalkan semua ini tidak sampai ke telinga ayahnya.

Mereka akhirnya berkumpul di rumah Glenn. Glenn yang mengatur pertemuan ini. Glenn yang, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, terlihat lebih tua dari usianya.

Pintu pun terbuka, Drei masuk dan menatap Artur dengan penuh kebencian. Drei tidak perlu berbicara karena matanya telah mengatakan segalanya. Ia membenci mereka. Bukan hanya karena apa yang mereka lakukan, tapi karena mereka masih ada di dunia ini, bernapas, berbicara, dan merasa tidak bersalah.

Artur menarik napas panjang. Ia tidak ingin melihat wajah itu lagi. Ia tidak ingin menatap mata yang menyala dengan kebencian yang tak terpadamkan. Tapi ia tahu, ia tidak bisa lari.

Artur menunduk. Abil menggenggam amplop di sakunya lebih erat. Rasa bersalah itu menjadi beban yang semakin berat di pundak mereka. Namun, ada sesuatu yang lain. Seseorang yang tidak seharusnya ada di sana.

“Citra?” Suara Abil terdengar serak saat melihat gadis yang selama ini ia cintai berjalan masuk mengiringi Drei. Pandangannya terfokus pada wajahnya yang penuh dengan tanda tanya. Citra menatapnya tanpa ekspresi.

“Kamu ngapain di sini?” Abil bertanya, suaranya dipenuhi kepanikan yang bahkan tidak bisa ia sembunyikan.

Tapi Citra malah tersenyum miring. “Kamu yang ngapain di sini?”

Seketika, udara terasa lebih dingin. Abil mundur selangkah. Dadanya terasa sesak. Ia tidak bisa membiarkan Citra tahu. Ia tidak bisa membiarkan kekasihnya tahu betapa buruknya dirinya sebenarnya. Tanpa pikir panjang, Abil bergegas ke kamar Glenn.

Pintu terbanting terbuka. Glenn yang sedang duduk di tempat tidurnya, tersentak kaget. “Kenapa?” tanyanya cepat.

Abil melangkah masuk, napasnya tidak teratur. “Lo ngapain ajak si Citra segala?!” suaranya memenuhi ruangan.

Glenn mengerutkan kening. “Kenapa?”

Abil meremas rambutnya, frustrasi. “Gue gak mau dia sampai tahu tentang kejadian ini.”

Glenn mendengus, meletakkan ponselnya di meja. “Bil…” suaranya lebih pelan sekarang, lebih dalam. “Lama-kelamaan juga Citra bakal tahu tentang kejadian malam itu.”

Abil menelan ludah. Karena jauh di dalam hatinya, ia tahu Glenn benar. Kebenaran akan selalu menemukan jalannya untuk keluar. Tidak peduli seberapa keras mereka mencoba menguburnya. Dan saat hari itu tiba… Citra tidak akan pernah melihatnya dengan cara yang sama lagi.

“Kan kita mau nego sama si Drei.” Abil bersedekap, matanya menyipit ke arah Glenn.

“Gue sama Artur udah bawa duit banyak, Glenn.”

Glenn menatapnya tajam. Ada api dalam matanya. “Lo pikir ini semua bisa dibeli pake duit?” suaranya naik satu oktaf.

Abil mendengus. “Semua orang pernah ngerasain seks, Glenn.” Kata-katanya menusuk seperti duri.

“Cuma bedanya, first time-nya dia tuh sama dua orang. Lagian juga dia nikmatin itu, kok.”

Glenn mengepalkan tangannya. Kalau saja bukan karena situasi yang lebih besar, ia sudah menghajar Abil detik itu juga. Tapi yang keluar dari mulutnya adalah sesuatu yang lebih tajam dari pukulan.

“Drei hamil.”

Dunia seakan berhenti berputar. Udara terasa lebih berat. Jantung Abil seperti diremas hingga hancur. Ia kehilangan keseimbangan, lalu terduduk begitu saja di lantai. Dunianya runtuh. Masa depannya hancur—hancur karena kesalahannya sendiri.

*** 

Di ruang tengah, Artur terlihat santai, meskipun ia sebenarnya sedang menunggu sesuatu. Tas berisi uang di pangkuannya terasa lebih ringan dari beban yang ada di pikirannya.

“So, gimana?” tanyanya, percaya diri. Tapi tidak ada yang menjawab.

Suasana terasa lebih gelap. Drei masih menangis, suaranya lirih, tetapi isakannya menusuk jantung semua orang di ruangan itu.

Artur melirik Abil yang kembali duduk dengan wajah kosong. Ada sesuatu yang berubah dari ekspresinya. Tapi Artur mengabaikannya. Ia tidak peduli.

“Drei, udah lah,” kata Artur akhirnya. Nada suaranya terdengar lelah, seolah semua ini hanya urusan kecil yang terlalu dibesar-besarkan.

Drei mengangkat kepalanya, matanya memerah. Ia menatap Artur dengan kebencian yang hampir bisa membakar ruangan itu.

“Zaman udah berubah. Lo bisa—”

“Aku hamil, Tur!” Suara Drei meledak membelah udara, membekukan semua orang di tempat mereka berdiri.

Artur membatu. Otaknya mencoba mencerna kata-kata itu. Lalu, seperti tikus yang terpojok, ia mulai membela diri. “Lo gak usah ngaco!” suaranya meninggi. “Jelas-jelas gue keluarin di luar, kok!”

Amanda menyeringai dingin. “Lo waktu itu mabok, gak ada yang bisa mastiin itu!” katanya tajam.

“Gue yakin!” Artur bersikeras.

Glenn yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Udah bokap gue periksa.”

Artur terdiam, lalu menoleh tajam ke Glenn. “Oh, jadi sekarang Om Nino udah tahu?” suaranya penuh kemarahan yang tertahan.

“Kenapa lo gak bilang gue?” ia mengepalkan tangannya. “Apa lo mau nikahin dia, hah?”

Seketika, Glenn mengayunkan tinjunya, tetapi Abil menahannya.”Udah, Glenn!”

Glenn meronta, wajahnya penuh amarah. “Si brengsek ini kalo ngomong gak pernah bisa dijaga!”

Artur menarik napas, menurunkan suaranya. “Ya udah, gue salah.” Lalu, dengan gerakan santai, ia membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa ikat uang. “Lo butuh duit berapa?”

Seisi ruangan terasa beku. Drei menangis semakin kencang. Citra, yang sejak tadi diam, akhirnya kehilangan kesabarannya. “Lo sama sekali gak ada rasa bersalahnya, ya!”

Artur mendengus. “Tanya cowok lo. Emangnya dia ada ngerasa salah juga?”

Semua orang mendadak terdiam.

Citra menyipitkan matanya. “Maksudnya?” Ia menatap Abil yang tiba-tiba tidak bisa menahan pandangannya. “Bil?” suaranya lebih pelan. “Kamu gak terlibat, kan?”

Abil tidak menjawab. Ia hanya bisa menunduk. Dunianya benar-benar sudah berakhir.

“Citra…” Abil akhirnya bersuara, tetapi suaranya pecah. “Maafin aku.”

Tubuh Citra menegang, air matanya jatuh. Ia ingin berteriak. Ia ingin membunuh Abil saat itu juga. Dan itu yang akhirnya ia lakukan—dengan kata-kata yang akan terpatri di hati Abil selamanya.

“Lo emang anjing!” Botol air mineral melayang, menghantam bahu Abil. “Gue gak mau pacaran sama pemerkosa! Lo binatang!”

***

 

“Gue bakal temenin lo, Drei.” Suara Amanda terdengar lembut, tetapi ada ketegasan di dalamnya. Ia menggenggam tangan Drei erat, mencoba mengalirkan sedikit keberanian.

Lihat selengkapnya