Audrey tidak seharusnya ada di sini. Metta sudah menyuruhnya untuk tidak datang. Namun, sejak tahu tentang kasus ini, Audrey tidak bisa tinggal diam. Ia ingin memastikan bahwa Glenn tidak terlibat.
Ia ingin tahu kenapa Metta begitu ngotot melarangnya. Tapi di luar semua itu… Ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang mengusiknya. Sesuatu yang membuatnya merasa tidak bisa mempercayai siapa pun.
Gerbang rumah Metta terbuka, deretan mobil terparkir rapi. Audrey mengenali salah satunya; mobil Glenn. Jadi, anaknya tidak berbohong, Glenn benar-benar ada di sini. Namun, itu tidak menghilangkan kegelisahannya.
Ia melirik spion mobilnya, melihat pantulan wajahnya sendiri. Ia menarik napas, mengoleskan sedikit lipstick, memperbaiki rambutnya. Lalu, dengan langkah mantap, ia keluar dari mobil. Namun sebelum ia sampai ke pintu…
“Drey?” Suara itu menghentikan langkahnya.
Sejenak, dunia terasa membeku. Jantungnya berhenti berdetak. Suara itu... Audrey mengenalnya. Ia berbalik perlahan… Dan di sana, berdiri seorang pria. Dari sekian banyak kemungkinan, dari sekian banyak wajah yang bisa ia temui, mengapa harus wajah ini?
Tenggorokannya terasa kering. Tangannya mencengkeram tas erat-erat, seolah itu satu-satunya pegangan agar ia tidak jatuh. Ia ingin lari. Tapi kakinya terpaku. Ia ingin mengalihkan pandangan. Tapi tatapan mereka sudah terkunci dalam perang yang sunyi. Dan perang itu berlangsung lama—terlalu lama.
“Iya, Ayah?”
Seorang gadis menghampiri Zidan. Seketika, batu es yang membekukan mereka hancur. Audrey tersentak, ia menatap gadis itu.
Zidan bicara pada gadis itu, “Drei masuk duluan aja, ya.”
Audrey menelan ludah. Apa ia tidak salah dengar? Ia memanggil gadis itu dengan sebutan ‘Drey’?
Gadis itu pun masuk ke dalam rumah, meninggalkan Audrey dan Zidan dalam kebisuan. Audrey merasa… ada yang salah. Pikirannya berputar. Kenapa Zidan ada di sini? Apa gadis yang diperkosa itu… anaknya? Atau lebih buruk… apa mungkin anaknya adalah salah satu pelakunya?
Gila. Apa ini kebetulan? Atau semesta memang gemar bermain dengan takdirnya?
Zidan akhirnya bicara. “Aku tunggu di dalam.” Lalu, ia pergi meninggalkannya.
Audrey tidak menanggapi. Ia berbalik, masuk ke dalam mobilnya dengan tubuh gemetar. Tangannya meraih dashboard, mencari sesuatu yang bisa meredam debaran di dadanya. Obat penenang. Tanpa berpikir, ia menelannya. Berapa dosisnya? Ia tak peduli. Ia hanya ingin kembali bernapas.
Dari spion, ia melihat bayangannya sendiri. Ternyata ia tidak jadi lebih kuat, hanya lebih munafik. Ia menyalakan rokok, menghisapnya dalam-dalam. Asap putih melayang di udara, membawa serta sisa-sisa perasaannya yang hancur.
Sialan. Seharusnya ia mendengarkan Metta. Seharusnya ia tidak datang. Tapi ini bukan tentang dirinya. Ini tentang Glenn. Ia menarik napas panjang, membuang sisa kepedihan yang masih tersisa. Sekali lagi, ia bercermin di spion. Wajahnya kosong. Senyuman palsunya muncul.
“Ini untuk Glenn,” bisiknya. Lalu, ia keluar dari mobil dan melangkah ke dalam rumah Metta.
Suasana di ruangan ini begitu sunyi, seolah waktu ikut menahan napasnya. Di ujung meja, Drei duduk dengan kepala tertunduk. Air matanya mengalir diam-diam, jatuh tanpa suara. Di sisinya, Rosa menggenggam tangannya erat, tetapi Drei tidak membalas genggaman itu. Tangannya dingin, tubuhnya terasa mati rasa.
Dan di tengah semuanya, Audrey datang memecah keheningan. Langkah Audrey terdengar jelas di lantai marmer ruangan itu. Semua orang menoleh saat Audrey masuk. Rosa terbelalak kaget, sementara Zidan—ah, Zidan. Pria itu bersikap seolah kehadiran Audrey sama sekali tidak berarti. Lucu sekali. Baru beberapa menit lalu mereka saling menatap seperti dua orang yang hampir mati tenggelam.
Audrey mengangkat dagunya, berpura-pura tak peduli. Di sisi lain meja, Randy dan Metta saling bertukar pandang. Wajah mereka tegang, sementara di samping mereka, Artur dan Abil duduk gelisah, menunduk dalam diam. Di sudut ruangan, Glenn berdiri bersama Amanda. Mereka tidak bicara, hanya menjadi saksi dari pertemuan yang sejak awal sudah terasa seperti perang tanpa darah.
Drei perlahan mengangkat wajahnya. Matanya yang sembab bertemu dengan milik Audrey, tapi hanya dalam hitungan detik, ia kembali menunduk. Audrey melirik Glenn, lalu duduk di sampingnya tanpa bicara.
“Maaf ya Mami telat, tadi banyak kerjaan,” Audrey berbisik di sampingnya.
“Emang kapan Mami gak ada kerjaan?”
Audrey hanya melirik anaknya, tidak tertarik menanggapi sarkasme itu.
Percakapan di ruang itu kembali mengalir, namun pikiran Audrey melayang. Tatapan Rosa membara dengan kebencian lama, sementara Zidan tampak tegang. Apakah ini balasan semesta? Apakah ini cara untuk mengingatkannya tentang apa yang pernah ia lakukan di masa lalu?
Suasana kembali sunyi. Sampai akhirnya, Zidan memecah kebisuan. “Kita di sini untuk menyelesaikan masalah.”
Audrey menegakkan punggungnya. Nada suara Zidan masih seperti yang ia ingat. Tenang, tapi menghancurkan. Sejak dulu, cara bicaranya tak pernah berubah. Dan itu membuat Audrey muak.