Kala Karma Bertamu

Vania Faustin
Chapter #8

KILAS BALIK: 1998

Metta menatap jalanan yang melesat di bawah motor Randy, pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan. Zidan tidak pernah terlihat seperti seseorang yang akan pergi begitu saja. Tapi nyatanya, dia menghilang tanpa kabar. Dan yang lebih aneh lagi, dia tidak hanya sekadar menjauh. Dia melarikan diri. Ada sesuatu yang tidak beres di sini. 

Saat mereka tiba di pinggiran kota Bandung, mereka mulai mencari alamat yang diberikan oleh ayah Zidan. Gang-gang sempit, deretan kontrakan sederhana, aroma khas makanan kaki lima yang menguar dari warung-warung tenda.

Akhirnya, mereka berhenti di depan sebuah rumah kontrakan kecil dengan pintu kayu yang sedikit lapuk. Metta turun lebih dulu, sementara Randy mematikan mesin motornya. 

“Ini bener, kan?” tanya Randy memastikan. 

Metta mengangguk sambil mengecek kembali catatan alamatnya. Ia melangkah ke depan dan mengetuk pintu. Tak ada jawaban. 

Ia mengetuk lagi, kali ini lebih keras. “Zidan?” 

Hening. Metta dan Randy saling berpandangan. Kemudian Metta menempelkan telinga ke pintu. Ada suara TV, Zidan pasti ada di dalam.

“Ini gue, Randy sama Metta,” ujar Randy, mencoba lagi.

Beberapa detik kemudian, suara kunci diputar. Pintu terbuka. Bukan Zidan yang berdiri di ambang pintu, melainkan seorang perempuan. Ia mengenakan daster lusuh bermotif bunga, rambutnya dikuncir seadanya, wajahnya polos tanpa riasan.

Metta membeku. Randy menoleh padanya. “Ta, kayaknya salah.”

Perempuan itu mengerutkan dahi. “Ada apa, ya?”

Randy buru-buru menarik tangan Metta. “Maaf, kayaknya kita salah alamat!”

Metta menepis tangan Randy. “Tunggu!” Ia menatap perempuan itu. “Maaf, ini tempat tinggalnya Zidan Akbar bukan?”

Perempuan itu tersenyum tipis. “Oh, iya. Zidan tinggal di sini.”

Mata Metta dan Randy bertemu dalam kebingungan. Randy maju selangkah. “Zidannya ada?”

“Lagi kerja. Harusnya sih sebentar lagi pulang.” Perempuan itu tersenyum lebih lebar. “Mau nunggu di dalam?”

Randy mengangguk tanpa pikir panjang. “Boleh.”

Metta menatapnya tajam, tidak setuju. Tapi terlambat—perempuan itu sudah mempersilakan mereka masuk. Mereka melepas sandal dan memasuki kamar yang lebih luas dari dugaan. Ini lebih mirip kontrakan. Ada dapur kecil, kamar mandi dalam, dan ruang tidur yang cukup besar.

Metta kembali memperhatikan gerak-gerik perempuan itu. Dari cara bicaranya, sepertinya ia satu kampung dengan Zidan—mereka memiliki aksen yang sama.

“Maaf berantakan,” perempuan itu berkata sambil membereskan beberapa piring dan gelas yang tercecer di lantai.

Metta tersenyum tipis, meski pikirannya masih terombang-ambing. Lalu pandangannya jatuh ke dinding. Dan dunianya seakan berhenti berputar.

“Ya Tuhan, Randy…” Suaranya nyaris tak terdengar.

Di dinding, tergantung sebuah foto pernikahan.

Lihat selengkapnya