Barsena yang sedang menyetir terlihat ikut senyum-senyum sendiri mendengar cerita Kenny.
“Terus udah gitu aja? Gak ada jawaban iya atau tidak, gitu?” Tanya Barsena
“Iya, udah. Malam itu kita jadi sepasang kekasih. Aku rasa waktu itu aku terlalu malu buat bilang iya, semuanya ngalir gitu aja.”
“Iya, sih. Apalagi orang kayak kamu, bilang iyanya pasti kaku dan kikuk banget, wkwkwk.”
“Apaan sih,” Ucap Kenny yang ikut tersenyum sambil menampar pundak Barsena
“Di depan parkir ya, Sen. Itu yang ada tulisan toko servis jam pak Djoko. Parkir depan tokonya aja.” Kenny menunjukkan dengan telunjuknya
Setelah memarkirkan mobilnya, Barsena melihat dengan sangat dalam toko jam itu, Kenny memerhatikan Barsena
“Kenapa, Sen?”
“Kota ini cukup jauh kan, Ken? Kenapa harus sampai sejauh ini kamu memperbaiki jamnya?”
“Entahlah, setelah aku membantingnya sendiri karena mengingatkanku tentang Melvin, jam ini seolah-olah berbicara ingin diperbaiki disini.”
“Aku tidak mengerti.” Barsena semakin ingin tahu
“Ada kenangan indah yang kami lakukan disini. Saat Melvin berkuliah disini, aku sengaja merusak jamnya agar bisa menemuinya, agar dia bisa memperbaiki jamnya. Karena Melvin juga manusia yang tidak serba bisa, ia langsung membawaku ke toko servis ini. Waktu itu hujan turun deras, dan karena aku harus segera pulang sebelum kereta berangkat, kami memaksakan untuk pergi ke toko ini. Gak sia-sia aku memaksakan untuk bertemu, karena disinilah aku mendapatkan ciuman pertamaku. Setelah aku mengucapkan beberapa kata yang menurutku biasa saja namun berkesan bagi Melvin, ia langsung menciumku ditengah hujan yang sangat deras. Membuatku senang selama berhari-hari.”
Barsena tersenyum mendengarnya
“Aku merasa kasihan kepada jam itu.”
“Kasihan bagaimana?” Tanya Kenny
“Jam itu terus saja dihancurkan karena menjadi pelampiasanmu.” Barsena tertawa kecil
Kenny melirik ke arah tangan Barsena yang menunjukkan jam dengan pukul 13.10
“Jam tangan kamu mati, Sen? Benerin sekalian disini aja.” Pinta Kenny
“Enggak…. Jamku gak mati kok.”