“Aku udah di depan.” Satu pesan masuk di ponsel Kenny.
“Oke aku kesana.” Balas Kenny.
Satu minggu telah berlalu, dan akhirnya Kenny memutuskan untuk datang ke galeri itu berdua dengan Barsena. Jantungnya sangat berdebar saat akan sampai ke galeri tersebut, namun perasaan senang dan sukacita pun ada terasa di dirinya.
Akhirnya mereka sampai di galeri itu. Tampak depan sudah ada beberapa hasil foto yang menakjubkan terlihat, orang-orang pun ramai berdatangan. Kenny hanya planga-plongo bersamaan dengan Barsena yang sangat takjub melihat baru saja beberapa foto di luar galeri itu. Seseorang berpakaian rapih datang menghampiri mereka berdua.
“Ibu Kenny, ya?”
“Iya, betul.” Jawab Kenny.
“Kenalin, bu. Saya Dimas, Manajer galeri ini.”
Mereka berjabat tangan.
“Sekali lagi kami berterima kasih, karena sudah diberi kami kesempatan untuk karya-karya almarhum suami ibu. Mau saya antar dan arahkan untuk melihat-lihat karyanya di dalam, bu?”
“Tidak, terima kasih. Saya sendiri saja.” Jawab Kenny dengan senyuman manisnya.
Dimas hanya mengangguk mengerti.
Saat masuk ke dalam, banyak sekali karya yang ternyata dipajang. Tentunya dengan bingkai yang cantik dan ukuran yang cukup besar, galeri itu benar-benar terpenuhi setiap sudut dan ruangnya oleh karya Melvin. Selain foto-foto pemandangan beberapa tempat nusantara, ada juga foto-foto yang melibatkan manusia. Barsena mencoba fokus terhadap beberapa karya yang menarik perhatiannya juga, termasuk beberapa foto yang disampingnya ada puisi untuk mencoba mendeskripsikan foto itu lebih dalam lagi.
“Dasar pujangga abal-abal.” Ucap Barsena yang di sampingnya ada Kenny. Kenny hanya tersenyum.
“Maaf saya mengganggu, bu. Tapi sebentar lagi akan ada pembukaan tirai untuk karya utamanya. Kami harap sebagai orang terkasih almarhum, ibu bersedia dan berkenan memberikan satu atau dua patah kata?” Ucap Dimas.
“Waduh, saya agak malu, mas.” Balas Kenny.
“Enggak, dia bisa kok mas. Emang berapa lama lagi buat speechnya?” Ujar Barsena sedikit jahil.